Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) mengatakan voting yang dilakukan oleh anggota parlemen Uni Eropa (UE), Komite Lingkungan, Kesehatan Masyarakat, dan Keamanan Pangan terkait dengan olahan sawit sangat tidak menghormati kerja sama Indonesia-EU.
Ketua Umum Perhepi Bayu Krisnamurthi mengatakan voting tersebut merupakan bentuk kampanye negatif karena tidak didasarkan pada laporan yang benar dan akurat.
"Kami berpandangan bahwa voting itu merupakan langkah politik yang tidak menghormati kerja sama Indonesia-EU, didasarkan pada laporan yang tidak benar, merupakan bentuk kampanye negatif yang nyata dan sangat bernuansa kepentingan persaingan dagang," katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (10/3/2017).
Bayu Krisnamurthi mengatakan Perhepi mengusulkan agar pemerintah dan DPR RI dapat melakukan langkah-langkah diplomasi tegas seperti memastikan sawit menjadi salah satu perhatian utama dalam negosiasi Rl-EU CEPA.
"Melakukan langkah nyata melalui berbagai forum seperti WTO dan pengadilan untuk meminta perlakuan non-distriminatif, jika memang sawit dituntut untuk bersertifikat berkelanjutan maka semua minyak nabati yang digunakan EU termasuk kedele, rapseed, bunga matahari, dan lainnya juga dituntut bersertifikat sama," ujarnya.
Ia meminta pemerintah dan DPR menyiapkan langkah untuk melakukan pengaturan serupa bagi produk-produk impor seperti kosmetik, susu/keju, anggur/wine, termasuk yang berasal dari Eropa. Selain itu, imbuhnya, menggalang dan memperkuat kerja sama dengan semua negara produsen sawit, terutama di kawasan APEC dan Afrika.
Disampaikan, penilaian tersebut sejalan dengan hasil kajian yang menyimpulkan ada empat hal. Pertama, kajian Komisi Eropa pada 2013 menunjukkan bahwa deforestasi yang disebabkan sawit hanya 2,5% dan itu jauh lebih kecil dari pembukaan lahan oleh kedelai, peternakan sapi, jagung, dan pengembangan infrastruktur.
"Kedua, ekspansi sawit di seluruh dunia hanya seperlima dari ekspansi kedelai dan jauh lebih kecil dari ekspansi rapseed, tanaman sumber minyak nabati yang tumbuh di Eropa. Ketiga, definisi deforestasi yang digunakan tidak menghormati kedaulatan peraturan yang berlaku di Indonesia karena termasuk perubahan dari hutan menjadi APL," sebutnya.
Keempat, pandangan itu juga tidak menghormati kenyataan bahwa sawit adalah salah satu kegiatan ekonomi yang mendukung SDG dan diakui APEC sebagai Development Product karena terkait dengan pembangunan pedesaan dan pengurangan kemiskinan dengan fakta bahwa 90% sawit di Afrika dan 45% di Indonesia diusahakan oleh petani kecil.
Adapun voting tersebut mengenai suatu laporan yang menyatakan sawit merupakan penyebab deforestasi, degradasi habitat, masalah hak asasi manusia, standar sosial yang tidak patut, dan masalah tenaga kerja anak. Voting tersebut menyatakan setuju dengan laporan yang diajukan dengan suara 56 banding 1.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Advertisement