Pengamat hukum Universitas Bung Karno, Dr Azmi Syahputra menyatakan rencana revisi Undang-Undang (UU) KPK tidak relevan karena UU yang ada saat ini masih dibutuhkan.
"Itu benar-benar tidak relevan," katanya dalam acara diskusi Berbincang dan Berpikir (Cangkir) kampus tersebut di Jakarta, Selasa (4/4/2017).
Ia menyoroti poin penting dalam revisi UU tersebut, yakni, penyadapan, wacana diberikan hak untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), perekrutan penyelidik dan penyidik independen, pembatasan masa kerja KPK 12 tahun, serta keberadaan lembaga pengawas di KPK.
Khususnya untuk penyadapan, KPK wajar diberikan keleluasan lebih karena untuk mendapatkan adanya dugaan korupsi harus mengedepankan penyadapan.
"Selama ini, dengan metode penyadapan, menjadi senjata karena sebagian besar pelaku korupsi dapat ditangkap KPK. Penyadapan ini harus dipertahankan," katanya.
Demikian pula dengan tidak mengenal SP3 juga harus dipertahankan mengingat kejahatan korupsi merupakan kejahatan luar biasa, sehingga penanganannya juga harus luar biasa pula.
Fakta menunjukkan, kata dia bahwa seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan diproses di pengadilan, tidak satupun bebas dari tuntutan hukum.
Justru jika SP3 itu dihapus dikhawatirkan akan menimbulkan praktik jual beli perkara, katanya.
Demikian pula dengan penyelidik dan penyidik independen, KPK harus memiliki sendiri jangan sampai akan terjadi tarik menarik seperti kejadian "Cicak Buaya". "KPK bisa membentuk lembaga untuk mendidik penyidik dan penuntut umum sendiri, hingga benar-benar independen," tandasnya.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga telah menyatakan menolak revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang disiapkan pemerintah.
"Ada sembilan kelemahan mendasar dan prinsip dalam RUU Tipikor yang diajukan pemerintah," kata peneliti hukum ICW Donal Fariz dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Surabaya, Minggu (27/3).
Di antara kesembilan kelemahan mendasar itu adalah menghilangkan ancaman hukuman mati yang sebelumnya diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UU 31/1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Kemudian, juga hilangnya ancaman hukuman minimal pada sejumlah pasal, padahal ketentuan tentang ancaman hukuman minimal merupakan salah satu ciri dari sifat "extraordinary" (luar biasa) korupsi di Indonesia.
Juga ada penurunan ancaman hukuman minimal menjadi hanya satu tahun, yang dikhawatirkan dapat menjadi pintu masuk untuk memberikan hukuman percobaan bagi koruptor.
"Kemudian juga melemahnya sanksi terhadap mafia hukum seperti suap untuk aparat penegak hukum. Dalam UU 31/1999 jo UU 20/2001 suap untuk penegak hukum seperti hakim dapat diancam hukuman minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun, sedangkan di RUU Tipikor ancaman minimal hanya satu tahun dan maksimal tujuh tahun saja," kata Donal Fariz. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement