Kredit Foto: Antara/Miftahulhayat
Jaksa penuntut umum meminta hakim menjatuhkan hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun kepada terdakwa perkara dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Tindakan Ahok dinilai memenuhi unsur pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Menurut ketentuan itu, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Ahok menjadi terdakwa kasus penistaan agama karena menyebut bahwa ada pihak yang menggunakan Al Quran Surat Al Maidah 51 untuk membohongi saat berpidato di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Potongan rekaman video pidato tersebut kemudian menyebar, dan memicu serangkaian aksi protes dari organisasi-organisasi massa Islam.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara kemudian menjadwalkan sidang pembacaan putusan perkara penistaan agama tersebut pada Selasa (9/5/2017) di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta. Jelang pembacaan putusan perkara tersebut, banyak pihak berharap dan berpesan kepada majelis hakim supaya dapat memutus dengan bijak dan adil, serta tanpa intervensi dalam bentuk apapun.
Terkait dengan hal ini, Komisi Yudisial (KY) kemudian berpesan kepada majelis hakim yang menangani perkara dugaan penistaan agama tersebut supaya tetap independen dan imparsial dalam menjatuhkan putusan.
"Kemerdekaan dan independensi hakim diperlukan untuk menjamin imparsialitas dan keadilan dalam memutus perkara," ujar juru bicara KY Farid Wajdi.
KY mengimbau seluruh pihak supaya menghormati prinsip independensi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hakim wajib menjaga kemandirian peradilan, yakni bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis, tegas Farid.
Selain independensi, hakim tetapi juga memiliki akuntabilitas sehingga dapat menjalankan peradilan yang bersih, dipercaya oleh masyarakat dan menjadi kekuasaaan kehakiman yang berwibawa, kata Farid.
"Kami memastikan tugas KY mengawal proses sidang ini dilakukan dengan itikad yang baik dan sesuai dengan peran yang diberikan oleh negara," ujar Farid.
Farid mengatakan dalam mengawal proses persidangan untuk kasus ini, KY menggunakan dua metode.
"Kami melakukan pemantauan tertutup atau pemantauan terbuka, penggunaan metodenya sangat bergantung pada penilaian internal tentang urgensi kasus yang dihadapi," kata Farid.
Sementara itu berkaitan dengan substansi perkara, Farid menegaskan bahwa KY membatasi diri dalam hal ini. Sebab selain independensi hakim yang wajib dijaga, Farid menjelaskan proses hukum dari perkara ini juga masih berlangsung.
"Fokus KY akan ada pada etika majelis hakim dalam mengelola perkara ini, baik perilaku di dalam sidang maupun perilaku di luar sidang," tutur Farid. (CP/Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement