Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan konsumsi rokok menjadi ancaman serius bagi Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan NawaCita.
"Konsumsi rokok di Indonesia telah mengakibatkan dampak sosial ekonomi yang sangat signifikan dan masif. Rokok menyebabkan kemiskinan akut di rumah tangga miskin, memicu inflasi dan penyebab utama penyakit tidak menular fatal," kata Tulus melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (30/5/2017).
Tulus mengatakan data Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun menunjukkan alokasi anggaran rumah tangga termiskin setelah padi-padian adalah untuk rokok, yaitu 12,4 persen. Artinya, uang dan pendapatan mereka dihabiskan untuk membeli rokok jauh di atas alokasi kebutuhan lauk pauk dan pendidikan.
Data BPS juga menunjukkan dampak inflasi konsumsi rokok di perdesaan dan perkotaan mencapai 10,7 persen setiap bulan. Angka tersebut di bawah dampak inflasi akibat pencabutan subsidi listrik untuk golongan 900 VA yang hanya 2,86 persen.
"Jadi dampak inflasi rokok jauh memiskinkan masyarakat daripada inflasi karena pencabutan subsidi listrik," ujarnya.
Sementara itu, delapan dari 10 penyakit tidak menular yang paling menyebabkan kematian dipicu oleh konsumsi rokok. Karena itu, 70 persen klaim Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan didominasi delapan penyakit itu.
"Ironisnya yang menjadi korban mayoritas adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Konsumsi rokok telah menggerogoti sistem finansial JKN. Bila dibiarkan terus, maka cepat atau lambat JKN akan kolaps. Sistem pembiayaan kesehatan model apapun tidak akan mampu melindungi masyarakatnya yang sakit-sakitan akibat konsumsi rokok," tuturnya.
Padahal, jumlah perokok di Indonesia saat ini menempati urutan terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. Jumlah perokok di Indonesia mencapai 35 persen dari total populasi, atau sekitar 75 juta jiwa.
Belum lagi pertumbuhan prevalensi perokok pada anak-anak dan remaja yang tercepat di dunia, yaitu 19,4 persen. Bahkan menurut data Atlas Pengendalian Tembakau di ASEAN, sebanyak 30 persen sekitar 20 juta anak di Indonesia yang berusia dibawah 10 tahun adalah perokok.
"Karena itu, tidak ada jalan lain bagi pemerintah selain mengendalikan dan membatasi konsumsi rokok secara ketat bila ingin mencapai target pembangunan sebagaimana visi dan misi Nawa Cita," katanya.
Hal itu juga harus dilakukan bila pemerintah ingin menurunkan angka kemiskinan yang saat ini mencapai 27,5 juta jiwa. Pemerintah harus menghentikan wabah konsumsi rokok di rumah tangga termiskin.
"Caranya, dengan menaikkan cukai tembakau secara signifikan; melarang total iklan, promosi dan sponsor rokok, melarang penjualan rokok secara batangan dan mewujudkan kawasan tanpa rokok," tuturnya.
Hari Tanpa Tembakau Sedunia diperingati setiap 31 Mei. Pada 2017, tema yang diusung adalah "Tembakau Mengancam Pembangunan". (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Advertisement