Dinamika sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang terjadi di tanah air saat ini menjadikan keprihatinan bersama seluruh anak bangsa. Untuk itu, Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Perguruan Tinggi Muhammadiyah atau AFEB - PTM, meminta kepada semua pihak-pihak elemen bangsa untuk melakukan intropeksi diri serta membangun kohesi sosial bangsa yang seolah terkoyak oleh isu-isu primordial terutama berkaitan isu agama, etnis, dan ras.
Ketua AFEB - PTM, Mukhaer Pakkanna dalam keterangan tertulisnya mengungkapkan bahwa hulu retaknya kohesi sosial dari studi empiris yang terjadi saat ini lebih dipicu karena faktor ketidakadilan sosial, termasuk ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi.
Terkait dengan hal tersebut, di bulan suci Ramadan ini, AFEB PTM menyampaikan sikap. Pertama, perlunya meningkatkan kerjasama sosial dan ekonomi antara anak bangsa tanpa melihat status primordial seseorang atau kelompok.
"Kerja sama ini harus dalam posisi kesetaraan, keadilan, dan keterbukaan Ihwal ini sebagai bagian pengejawantahan asas kebersamaan dan gotong royong sesuai pesan imperatif sila ketiga Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945," tutur Mukhaer, di Jakarta, Senin (29/5/2017).
Kedua, dalam rangka menegakkan keadilan sosial dan ekonomi, maka sikap-sikap eksklusif dan saling curiga segera dihentikan. Sikap-sikap ekslusif di ruang publik, pada faktanya banyak ?dibajak? dan dikuasai oleh pemilik modal besar dan elite politik.
"Menjamurnya sentra-sentra perumahan eksklusif sebagai kasus, misalnya telah menggusur lahan warga yang di-back up oleh kekuatan elit politik yang telah mencederai terbangunnya kohesi sosial," keluh Mukhaer.
Bahkan, secara makro lahan publik di Indonesia telah dikuasai pemilik modal raksasa dan asing. Bayangkan 0,2 persen penduduk, menguasai 66 persen aset lahan nasional. Kepemilikan lahan secara besar-besaran ini dilindungi UU No 25 Tahun 2007.
Sejak 2007 para pemilik modal diperbolehkan menguasai lahan paling lama 95 tahun. Hingga tahun 2016, 175 juta hektar atau setara 93 persen luas daratan di Indonesia dimiliki para pemodal swasta dan asing.
Demikian juga, ada 28 kota baru di Area Metropolitan Jakarta atau Jabodetabek dikuasai tujuh pengembang besar. Termasuk mega-proyek Meikarta Cikarang yang dibangun Grup Lippo disinyalir tidak memiliki izin oleh Pemda Jawa Barat.
"Kebijakan-kebijakan yang memproduksi ketidakadilan seperti ini harus segera dienyahkan dalam rangka membangun kohesi sosial. Hentikan segera kebijakan pemberian keistimewaan (privilege) pada kelompok ekonomi dan politik tertentu," ucapnya.
Kemudian ketiga, dalam rangka membangun kohesi sosial, toleransi harus ditegakkan. Toleransi tidak semata dimaknakan dalam konteks sempit, tapi harus diperluas horisonnya. Tidak semata bagaimana kelompok populasi agama, etnis, dan suku terbesar (mayoritas) harus menghormati dan menghargai kelompok populasi agama, etnis, dan suku minoritas.
Pemaknaan toleransi juga harus dikaitkan dengan makna ekonomi, di mana kelompok penguasa ekonomi terbesar (mayoritas) yang selama ini memperoleh privilege harus menghormati kelompok ekonomi yang selama ini termajinalkan oleh sempitnya aksesibilitas ke sumber-sumber daya ekonomi nasional. Jika ini tidak dilakukan oleh semua elemen bangsa, ekonom Muhammadiyah tersebut menegaskan, agar jangan berharap akan terbangunnya kohensi sosial di negeri ini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ning Rahayu
Editor: Rizka Kasila Ariyanthi
Tag Terkait:
Advertisement