Menanggapi banyaknya kepala daerah dan kepala desa yang terlibat korupsi dana desa, Ketua AFEB ? PTM Mukhaer Pakkanna mengatakan bahwa diperlukan sebuah pengawasan yang akurat terhadap penyaluran dana tersebut.
Lebih lanjut Ia mengatakan jika tidak diawasi dengan optimal, akan menjadi biang bancakan baru. Korupsi makin menjadi virus yang terdistribusi hingga ke desa-desa. ?Aparat desa kalau tidak hati-hati akan memenuhi hotel prodeo,? paparnya, Senin (7/8/2017), di Jakarta.
Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (AFEB) Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) menilai selama ini ada tiga akar masalahnya, yakni pertama, ketidaksiapan mental dan moral aparat desa menerima dana miliaran rupiah. Kedua, pelaksana, tenaga pendamping, dan pengawas penyaluran dan pengelolaan dana desa berkongkalikong. Relasi pelaksanaan, tenaga pendamping, dan pengawas sulit dibedakan karena dicurigai berasal dalam satu padepokan yang sama. Ketiga, masih banyaknya celah hukum yang tidak sinkron dari sisi kebijakan. Kendati sudah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri PDIT, Mendagri dan Menkeu, dari sisi pelaporan dan akuntabilitas akuntansinya belum sepenuhnya tersosialisasi ke aparat desa.?
Sejak 2015, pemerintah telah menggelontorkan dana desa yang disalurkan sebesar Rp20,76 triliun. Satu tahun kemudian jumlah itu ditambah menjadi Rp46,98 triliun. Pada 2017, anggarannya dinaikkan lagi menjadi Rp60 triliun, bahkan tahun 2018 akan bertambah dua kali lipat menjadi Rp120 triliun.
Diakui Mukhaer Pakkannan, sejak awal pelaksanaan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah muncul kecurigaan terhadap potensi bancakan dana desa itu. Tidak heran?jika laporan KPK menyebutkan bahwa tiga tahun program ini berjalan, laporan dugaan penyelewengan dana desa ke lembaga antirasuah telah menembus 362 laporan.
Oleh karena itu, diperlukan adanya perbaikan pada aspek regulasi, tata laksana, pendampingan, pengawasan, dan sumber daya manusia. ?Dalam konteks pendampingan dan pengawasan harus berasal dari tenaga-tenaga yang handal dan kompeten serta tidak boleh berasal dari padepokan yang sama dengan pelaksana,? usul Mukhaer Pakkanna.
Selain itu, kebijakan ini juga harus mengundang pihak Perguruan Tinggi yang relatif memiliki keahlian, kompetensi, sumberdaya manusia, dan jaringan sebagai tenaga pendamping dan pengawas. ?Semuanya harus transparan, tidak semata hanya membuat laporan yang terpampang di balai desa dan situs desa, tapi sejak proses hulu hingga hilirnya harus terbuka. Siapa pelaksana, siapa pendamping, siapa pengawas, harus jelas kerja dan manfaatnya, sehingga tidak muncul fitnah yang bisa mengorbankan masyarakat desa. Kasihan anggaran sudah naik Rp60 triliun, tapi penurunan kemiskinan desa hanya 0,12 persen. Itu tidak adil,? papar Mukhaer.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ning Rahayu
Editor: Rizka Kasila Ariyanthi
Tag Terkait:
Advertisement