Indonesia Police Watch berharap Polri tidak membiarkan pelanggaran hukum menempatkan Basuki Tjahaja Purnama dalam Rutan Brimob Kelapa Dua, kemudian segera meminta Menteri Hukum dan HAM memindahkan Ahok dari rutan tersebut ke lembaga pemasyarakatan.
Sebagai institusi penegak hukum, Polri harus bersikap konsisten, profesional, proporsipnal, dan independen sehingga fasilitasnya tidak disalahgunakan pihak lain, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, hal itu ditegaskan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane.
Penempatan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) setelah inkrah menjadi narapidana adalah kesalahan kedua dan pelanggaran hukum kedua yang pernah dilakukan rezim penguasa. Anehnya, kesalahan dan pelanggaran hukum ini dibiarkan oleh Brimob dan Polri sebagai institusi penegak hukum dan sebagai pemilik Rutan Brimob Kelapa Dua.
Pelanggaran hukum pertama dilakukan semasa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang mengistimewakan Aulia Pohan di Rutan Brimob. Pelanggaran hukum kedua dilakukan saat ini yang mengistimewakan Ahok di Rutan Brimob. Untuk itu, Brimob dan Polri tidak boleh membiarkan pelanggaran hukum ini terjadi lagi. Rutan Brimob tidak boleh diintervensi Kementerian Hukum dan HAM yang seolah-olah tidak mau peduli dengan ketentuan hukum yang ada.
Semua pihak, terutama Menteri Hukum dan HAM, harus paham bahwa Rutan Brimob bukan LP. Jika Menteri Hukum dan HAM tidak paham tentang hal ini, menurut dia, seharusnya mengundurkan diri saja karena tidak pantas menjadi Menteri Hukum dan HAM. Menteri Hukum dan HAM harus paham bahwa menempatkan napi di rutan adalah pelanggaran hukum serius. Kenapa napi harus ditempatkan di LP? Karena dalam sistem hukum Indonesia dikenal adanya sistem pembinaan bagi narapidana saat menjalani proses hukuman. Artinya, semua napi itu harus dibina tanpa pengecualian, termasuk Ahok.
Pasalnya, sistem hukum Indonesia tidak mengenal adanya diskriminasi. Sementara itu, yang memiliki sistem dan fasilitas pembinaan terhadap napi hanya LP dan di rutan tidak ada sistem dan fasilitas pembinaan bagi napi. Apalagi, di Rutan Brimob yang luasnya sangat terbatas dan tergolong sempit. Rutan Brimob hanya memiliki empat bangunan berbentuk rumah.
Dua bangunan terdapat kamar yang dijadikan sebagai kamar untuk tahanan sehingga seperti kamar pribadi. Di bangunan inilah, Aulia Pohan dan Susno Duaji pernah ditahan. Dari dua bangunan yang terdapat kamar-kamar itu, satu bangunan untuk tahanan teroris. Dua bangunan lagi terdiri atas sel tahanan berjeruji. Di tempat inilah Wiliardi Rizard mantan Kapolres Jakarta Selatan yang dituduh terlibat kasus pembunuhan Nazaruddin pernah ditahan.
Rutan Brimob tergolong sangat sempit dan terbatas, sementara dalam sistem hukum Indonesia seorang napi harus dibina. Sempitnya Rutan Brimob membuat tempat ini tidak lagi bagi napi.
"Saat Aulia Pohan menjadi napi di Rutan Brimob, kamarnya lebih banyak terlihat terkunci dari luar, sementara sang napi tidak terlihat entah di mana?" kata Neta dalam keterangannya, Kamis (22/6/2017).
Sempitnya luas Rutan Brimob, menurut dia, membuat gerak gerik dan aktivitas semua tahanan menjadi sangat gampang terpantau sesama tahanan. IPW berharap kesalahan pemerintahan sebelumnya yang mengintervensi Rutan Brimob hendaknya tidak terulang lagi pada saat ini. Brimob dan Polri jangan membiarkan pelanggaran hukum ini. Untuk itu, dia meminta Menteri Hukum dan HAM segera memindahkan Ahok ke lembaga pemasyarakatan agar bisa dilakukan pembinaan sesuai dengan ketentuan hukum. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Advertisement