Beberapa jam setelah serangan teror mematikan pada hari Senin di Manchester, ada serangkaian aktivitas di aplikasi favorit bagi kelompok militan Islam, sebuah layanan pesan terenkripsi yang disebut Telegram. Bahkan, sebelum pihak berwenang melepaskan rincian serangan tersebut, pendukung ISIS membanjiri saluran pribadi dan publik aplikasi dengan pesan berisi perayaan.
Telegram telah menjadi salah satu sarana utama ISIS untuk menyebarkan informasi dan menyatukan pendukungnya. Setelah pengeboman Senin di Manchester, itu adalah pusat propaganda pro-ISIS, dan akhirnya menjadi sumber klaim resmi dari kelompok tersebut untuk bertanggung jawab atas suatu serangan.
Seiring platform media sosial seperti Twitter dan Facebook meningkatkan upaya mereka dalam beberapa tahun terakhir untuk menutup akun pro-ISIS, Telegram telah mengisi kekosongan tersebut. Sejak sekitar tahun 2015, para analis mengatakan telah ada eksodus besar-besaran oleh para ekstremis ke layanan aplikasi untuk mencari privasi yang lebih baik dan bebas di non-aktifkan oleh moderator.
"Kami telah melihat kecenderungan yang jelas untuk berkembangnya penggunaan Telegram oleh hampir semua kelompok teror di seluruh dunia," Gabriel Weimann, seorang profesor di Universitas Haifa di Israel, dan penulis tentang ekstremisme online, mengatakan kepada HuffPost, sebagaimana dikutip dari laman HuffPost, di Jakarta, Sabtu (15/7/2017).
Munculnya Telegram sebagai bagian dari strategi komunikasi ISIS dan kelompok teroris lainnya dalam beberapa tahun terakhir, telah menunjukkan bagaimana ekstremis menyesuaikan diri dengan teknologi dalam menghadapi upaya untuk menutup eksistensi mereka secara online.
ISIS telah lama menggunakan platform media sosial untuk menyebarkan propaganda dan merekrut para pengikutnya, dan Weimann menjelaskan bahwa pada umumnya kelompok teror adalah yang pertama beradaptasi pada platform online baru dan layanan yang dapat mereka manfaatkan.
Telegram bekerja seperti Facebooks WhatsApp, menggunakan enkripsi end-to-end untuk melindungi informasi yang dibagikan. Perusahaan mengklaim memiliki lebih dari 100 juta pengguna, dan menawarkan fitur seperti pesan yang dapat hilang secara otomatis untuk memastikan privasi lebih besar. Pengguna dapat berkomunikasi baik secara langsung, dalam kelompok pribadi maupun di saluran.
Aplikasi ini awalnya dimulai pada tahun 2013 sebagai sarana untuk menyediakan layanan pesan yang lebih aman, dengan penciptanya yakni Pavel Durov yang menyatakan bahwa aplikasi tersebut dimaksudkan untuk mencegah layanan keamanan Rusia untuk dapat mengakses komunikasi antarpenggunanya.
Durov adalah warga kebangsaan Rusia yang setara dengan Mark Zuckerberg, yang notabene menonjol pada tahun 2006 setelah dirinya mendirikan VKontakte, sebuah platform media sosial yang lebih populer daripada Facebook di Rusia.
Ketika Kremlin membobol kebebasan internet dan menekan Durov, dirinya memutuskan untuk melarikan diri dari negara itu pada tahun 2014, dan menjual sahamnya di perusahaan tersebut yang ditaksir berjumlah ratusan juta dolar.
Durov sekarang menjadi warga negara kepulauan Karibia di St. Kitts dan Nevis, sekaligus sebagai pendukung setia privasi online. Dalam wawancara, Durov telah meremehkan penggunaan telegram oleh para ekstremis dan mengatakan bahwa sebagian besar penggunanya mempunyai alasan yang sah dalam mengunakannya.
Dirinya menolak gagasan untuk membuat akses back-door sebagai upaya keamanan kepada aplikasinya, dengan mengklaim bahwa walaupun Telegram benar-benar dimatikan, tidak akan banyak yang dapat menghentikan teroris untuk berkomunikasi.
Meskipun, ada penolakan Durov terhadap campur tangan pemerintah dan juga pembatasan kebebasan online, Telegram berusaha menghentikan saluran yang pro kepada ISIS, Telegram telah menutup sebanyak 78 saluran terkait dengan serangan di Paris pada November 2015, dan sejak itu telah menutup lebih dari ratusan saluran lainnya.
Namun, perusahaan tersebut kurang berhasil dalam mencegah aktivitas pro-ISIS dibandingkan platform lain seperti Twitter, yang telah menutup lebih dari 360.000 akun yang mempromosikan terorisme sejak pertengahan tahun 2015.
Pergeseran ke Telegram juga merupakan bagian dari gerakan ISIS yang lebih besar menuju jaringan pribadi dan yang disebut sebagai web gelap atau dark web. Para ahli mengatakan bahwa saat perusahaan media sosial kalah start dalam menangani ekstremisme di platform mereka, kelompok teroris semakin mahir dalam mengubah strategi komunikasi mereka.
"Kemampuan belajar mereka sekarang sangat cepat, setelah butuh bertahun-tahun bagi mereka untuk beradaptasi dengan platform baru atau media baru. Sekarang mereka melakukannya hanya dalam waktu beberapa bulan, " pungkas Weimann.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Hafit Yudi Suprobo
Editor: Hafit Yudi Suprobo
Tag Terkait:
Advertisement