Busyro Muqoddas dengan tiga badan hukum yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan KPK dari Angket DPR, mendaftarkan permohonan uji materi terhadap Pasal 78 ayat (3) dan Pasal 199 ayat (3) UU MD3 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun tiga lembaga hukum yang turut menjadi Pemohon adalah; Indonesia Corruption Watch (ICW), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
"Kami mendaftarkan kepada MK tentang UU MD3, kami minta MK tafsirkan Pasal 79 ayat (3) dan Pasal 199 ayat (3) tentang kewenangan DPR melakukan hak angket terhadap KPK," ujar perwakilan YLBHI, Muhammad Isnur, di Gedung MK Jakarta, Kamis (20/7/2017).
Pemohon meminta kepada MK untuk memberikan tafsir konstitusional bahwa DPR tidak bisa melakukan hak angket kepada KPK, karena menurut putusan MK tahun 2006 KPK digolongkan terhadap lembaga yudikatif yang tidak bisa diberikan hak angket oleh DPR untuk diselidiki.
"Menurut tafsir yang ada seharusnya KPK itu lembaga independen yang tidak bisa diawasi oleh lembaga manapun," ujar Muhammad.
Pemohon juga meminta kepada MK untuk memberikan penjelasan dan tafsir dari frasa "strategis berdampak luas".
"Kami memandang hak angket ini adalah bagian dari gerakan politik atau serangan balik terhadap KPK, karena KPK menyelidiki kasus E-KTP dan kasus lainnya, jadi ini bukan kepentingan bangsa dan negara," tutur Muhammad.
Pemohon berpendapat bahwa keberadaan pasal-pasal yang didaftarkan untuk diuji telah menghambat berjalannya tugas pemberantasan korupsi yang dijalankan KPK, karena adanya penyalahgunaan wewenang DPR dalam sistem pemerintahan presidensiil.
Lebih lanjut, pemohon mengatakan bahwa penegakan perlindungan dan kepastian hukum yang adil harus mempertimbangkan asas kemanfaatan. Muhammad kemudian menegaskan, apabila pasal yang didaftarkan untuk diuji tidak memiliki makna yang sesuai dengan kepastian hukum yang adil, maka pasal a quo tentu tidak menciptakan manfaat bagi masyarakat bahkan menghambat tujuan kemakmuran rakyat berdasarkan UUD 1945.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4/2017) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.
Sewaktu sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima, dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E. (HYS/Ant)
?
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Hafit Yudi Suprobo
Tag Terkait:
Advertisement