Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menegaskan penggunaan angket oleh DPR terhadap KPK tidak proporsional bila mengacu pada penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3).
"Memahami konteks tersebut, maka penggunaan angket oleh DPR terhadap KPK menjadi tidak proporsional dan kehilangan kebijakan rasionalitasnya," kata Laode di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (28/9/2017).
Laode mengatakan hal itu mewakili KPK selaku pihak terkait dalam sidang uji materi UU MD3 mengenai ketentuan hak angket oleh DPR. Penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 membatasi penggunaan hak angket hanya untuk soal-soal penting, strategis, dan berdampak luas, serta hanya terhadap presiden dan pejabat yang berada di bawah presiden.
"Ini mengingat cabang kekuasaan eksekutif juga memiliki kemampuan dan kekuasaan secara politik," kata Laode.
Oleh sebab itu, angket dan hak-hak lain yang dimiliki oleh DPR merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk menjaga agar tidak terjadi determinasi yang berlebihan bagi kekuasaan eksekutif demi menjaga keseimbangan kekuasaan, jelas Laode.
"Namun ini menjadi bias apabila substansi yang terkait dengan penegakan hukum, apalagi yang berkaitan dengan perkara pidana yang seharusnya diproses dalam area hukum melalui sistem peradilan pidana," kata Laode.
Laode menilai bahwa penggunaan hak angket DPR terhadap KPK sebagai lembaga independen akan menjadi catatan sejarah penting dalam penegakan hukum dan sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Kami menyakini, bila penggunaan hak angket DPR terhadap KPK sebagai lembaga penegak hukum yang independen tidak dihentikan, maka peristiwa ini akan menjadi 'pintu masuk' bagi kekuasaan politik untuk mencampuri kerja-kerja penegakan hukum di Indonesia," tegas Laode.
Pegawai KPK Sebelumnya, sejumlah pegawai KPK melakukan pengujian terkait tentang hak angket DPR yang meminta keseluruhan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menjadi konstitusional bersyarat (Perkara Nomor 40/PUU-XV/2017).
Hal serupa diungkapkan oleh mantan wakil ketua KPK Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Konfederasi Persatuan buruh Indonesia (KPBI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan KPK selaku Pemohon Perkara Nomor 47/PUU-XV/2017.
Pasal 79 ayat (3) menyebutkan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, menurut Pemohon, kewenangan hak angket DPR terhadap KPK tidak memenuhi unsur hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat Indonesia.
Pemohon berpendapat bahwa hak angket ini lebih terlihat memperjuangkan kepentingan politik untuk intervensi proses peradilan khusus kasus korupsi KTP elektronik yang sedang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan demikian pemohon berpendapat objek yang diusung oleh DPR untuk menyelidiki proses beperkara di KPK jauh dari yang ditentukan undang-undang. Pemohon juga meminta Mahkamah untuk menafsirkan Pasal 199 ayat (3) terkait dengan syarat formil dilaksanakannya hak angket, seperti mekanisme pengajuan usul hak angket, prosedur hak angket, dan pembentukan panitia hak angket. (CP/Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement