Era bunga murah perbankan semestinya dapat lebih cepat dimulai dengan dorongan agar industri perbankan lebih giat berinovasi demi efisiensi, bukan hanya merengek meminta Bank Sentral mengerek turun suku bunga acuan.
Sejak era kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di 2014, mahalnya suku bunga pinjaman dari perbankan yang menyentuh dua digit atau melebihi 10 persen selalu menjadi perhatian pemimpin negeri ini dalam membuat kebijakan.
Jokowi dan Jusuf Kalla berulang kali mengekspresikan kegeramannya tentang tingginya suku bunga kredit. Selain itu, juga perbankan yang belum efisien.
Sejak itu pula rencana mengakhiri rezim bunga bank tinggi terus dilakukan. Namun, upayanya seperti melintasi jalan siput. Lambat dan kerap tersendat.
Jusuf Kalla, saat itu, dalam berbagai forum ekonomi, kerap menyindir perbankan dan juga Bank Indonesia selaku bank sentral. Pasalnya saat awal masa pemerintahan Jokowi-JK suku bunga kredit di Indonesia tergolong sebagai salah satu yang tertinggi di kawasan.
Alhasil kegiatan ekonomi utamanya sektor riil sulit menggeliat karena mahalnya sumber modal. Jika sektor riil tidak bergairah, investasi pun bisa melambat.
Hal itu diperparah dengan kenyataan bahwa sumber pembiayaan perekonomian dalam negeri memang masih bergantung pada aliran dana perbankan dan belum beragam.
"Kalau kita masih tingkat bunganya 5 sampai dengan 11 persen. Namun, di Malaysia 5 persen, kita kalah di sini dalam soal daya saing. Apalagi di Cina," kata Jusuf Kalla di hadapan pimpinan Bank Indonesia dan industri perbankan pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2015.
Pada tahun 2015, memang suku bunga kredit perbankan cukup mahal. Itu juga tak lepas dari tingginya suku bunga acuan BI yang saat itu masih menggunakan acuan Bank Indonesia Rate (BI Rate) dengan transaksi tenor 12 bulan.
Pada bulan Desember 2015, "BI Rate" berada di posisi tertingginya selama 6 tahun terakhir, yakni 7,5 persen.
Mandat BI sebagai penjaga stabilitas perekonomian, membuat Bank Sentral enggan berkompromi dengan peluang penurunan suku bunga acuan jika inflasi tinggi. Pendekatan kebijakan BI di bawah kepemimpinan Agus Martowardojo memang selalu ditimbang dari laju inflasi dan indikator lainnya dalam menjaga stabilitas perekonomian.
Saat itu, inflasi bulanan pada bulan Desember 2015 sudah mencapai 3,35 persen, bahkan 2 bulan sebelumnya inflasi bulanan mencapai 6,25 persen.
Merembet ke industri, suku bunga dasar kredit (SBDK) bank-bank besar hampir seluruhnya di dua digit. Padahal, itu baru angka SBDK. Tingkat suku bunga yang ditawarkan di konter bank bisa lebih tinggi lagi.
Misalnya, di PT Bank Mandiri Persero Tbk.--salah satu bank besar milik pemerintah dan pemain utama pasar--saat itu memasang bunga kredit korporasi sebesar 10,5 persen, bunga kredit ritel 12,25 persen, dan kredit konsumsi untuk kredit pemilikan rumah (KPR) 11 persen dan kredit konsumsi non-KPR sebesar 12,5 persen.
Bank besar lainnya, misalnya PT Bank Central Asia Tbk. setali tiga uang dengan Mandiri. Bunga kredit koporasi mencapai 10,25 persen, bunga kredit ritel 11,5 persen dan kredit konsumsi KPR sebesar 10,25 persen. Namun, untuk konsumsi non-KPR, BCA mematok bunga kredit yang cukup rendah di sekitar 8 persen.
Melihat kondisi itu, Jusuf Kalla pada acara The Economist Events: Indonesia Summit 2016 mengatakan, "Pemerintah akan merancang program untuk menekan suku bunga kredit menjadi satu digit." Satu Digit Dua tahun berselang, tidak perlu ragu untuk mengakui Indonesia memang mengalami perbaikan kondisi ekonomi. Inflasi kian jinak dalam 2 tahun terakhir, yakni pada tahun 2015 sebesar 3,3 persen (year on year), kemudian pada tahun 2016 menurun sebesar 3,02 persen (yoy)
Namun, pada tahun ini, inflasi diprediksi BI meningkat menjadi sekitar 3,7 s.d. 3,8 persen (yoy). Meskipun naik, inflasi berada pada batas bawah sasaran inflasi BI (inflation targeting framework) di 3 s.d. 5 persen.
Suku bunga kebijakan moneter BI juga sudah turun akumulatif sebesar 200 basis poin atau 2 persen menjadi 4,25 persen, ditambah stimulus pelonggaran kebijakan makroprudensial.
Selain itu, nilai tukar sejak awal tahun juga relatif terjaga di Rp13.300,00 s.d. RpRp13.500,00 per dolar AS meskipun tekanan eksternal akan terus mengancam.
Namun, cita-cita bunga kredit satu digit seperti yang pernah diungkapkan Jusuf Kalla masih harus dicapai dengan sinergi dan kerja keras antarpemangku kepentingan.
Beberapa segmen kredit tampak sudah mengarah ke satu digit. Namun, tidak sedikit pula yang masih bertengger di dua digit, seperti di segmen mikro dan konsumsi.
Data SBDK pada September 2017 menunjukkan penurunan bunga kredit di beberapa bank besar. Misalnya, kredit korporasi dari Bank Mandiri sudah 9,95 persen, kredit ritel 9,95 persen. Namun, SBDK kredit mikro masih 18 persen, kredit konsumsi, yakni KPR 10,25 persen dan non-KPR 12,25 persen.
Di PT Bank Central Asia Tbk., bunga kredit korporasi 9,75 persen, kredit ritel 10,5 persen, dan KPR 10 persen.
Meski sudah menurun, perbankan seharusnya masih bisa mengoptimalkan ruang pelonggaran suku bunga acuan BI untuk terus menurunkan bunga kredit.
Sejak Januari 2016, BI sudah menurunkan suku bunga acuan sebesar 200 basis poin atau 2 persen. Namun, hampir 2 tahun berlalu, perbankan baru merespons penurunan suku bunga deposito seebsar 160 basis poin, dan suku bunga kredit sebesar 123 basis poin.
Padahal, instrumen suku bunga acuan dengan yang sedemikian "ramah" dan "akrab", yakni dari BI Rate menjadi BI 7-Day Repo Rate yang memiliki tenor 7 hari. Dengan tenor transaksi yang lebih kredibel, pengaruh suku bunga acuan dapat lebih terasa di pasar finansial.
Jika merujuk pada pernyataan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara, masalah lambannya penurunan bunga kredit bank, salah satunya bersumber dari konsolidasi bank itu sendiri. Industri perbankan belum efisien secara signifikan, dan masih terjebak dengan beban biaya operasional yang mencekik.
Mirza meminta perbankan dapat meningkatkan efisiensinya, salah satunya dengan mengoptimalkan teknologi.
Saat ini, rata-rata beban biaya operasional perbankan Indonesia bisa mencapai 3 persen hingga 3,5 persen terhadap total aset. Padahal, perbankan di kawasan Asia Tenggara hanya berkisar 1 s.d. 2 persen terhadap total aset.
Artinya, perbankan di Indonesia tidak efisien, sekitar 100 basis poin sampai 150 basis poin. Jadi, yang harus bisa diturunkan itu biaya operasinya, ujarnya.
Dalam komponen pembentuk suku bunga kredit, setidaknya ada sejumlah beban biaya yang harus dihitung bank. Biaya dana, beban operasional, risiko premium, dan ada target margin untuk menopang laba.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso mengakui beberapa komponen beban biaya itu yang membuat suku bunga kredit sulit turun.
Namun, kata dia, saat ini bank-bank sedang berproses untuk memangkas suku bunga pinjamannya. Memang tidak mudah. Namun, kata Wimboh, OJK memastikan akan terus mengawasi penurunan bunga kredit itu hingga mencapai rezim bunga rendah.
Pihaknya monitoring terus. Sudah mulai penurunan suku bunga kredit meski masih perlu waktu, seperti besarnya penurunan suku bunga dana dan suku bunga acuan.
Terdapat usul menarik dari Menko Perekonomian Darmin Nasution agar OJK membuat benchmark (acuan) suku bunga kredit untuk perbankan.
Wimboh tidak dengan tegas menjawab setuju atau tidak dengan usulan Darmin itu. Namun, dia mengatakan bahwa OJK akan mendorong transparansi perbankan dalam menghitung komponen pembentuk biaya bunga kredit jika ingin membuat "benchmark".
Masing-masing perbankan, kata dia, memiliki besaran komponen pembentuk biaya bunga kredit yang berbeda.
Jadi, suku bunga kredit itu berapa? Suku bunga depositonya berapa? Biaya operasi, premium risk berapa? Ongkos regulasi kaya reserve requirment berapa? Hal ini harus ditransparasikan agar benchmark bunga kredit ini berapa yang tepat.
Saat ini, kondisi ekonomi domestik sedang didera banyak sentimen positif. Peringkat layak investasi sudah didapat dari tiga lembaga pemeringkat internasional.
Pertumbuhan ekonomi terus menuju membaik dan melebihi perkiraan BI sebelumnya. BI optimistis pada tahun ini pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,1 s.d. 5,2 persen.
Perbankan diharapkan dapat memanfaatkan momentum ini untuk mempercepat konsolidasi agar lebih efisien. Dengan demikian, jika sudah efisien, perbankan dapat segera meminimalkan biaya orpasional dan mengurangi beban bunga kredit bagi masyarakat.
Jika sudah begitu, perbankan dapat membuktikan kontribusinya sebagai lembaga intermediasi ke perekonomian. (ANT)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Gito Adiputro Wiratno
Tag Terkait:
Advertisement