Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jumlah Kekerasan Perempuan di Ambon Meningkat

Jumlah Kekerasan Perempuan di Ambon Meningkat Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Ambon -

Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) Ambon mendata jumlah kasus kekerasan berbasis gender di Provinsi Maluku mengalami peningkatan 198 kasus di tahun 2017.

"Tahun 2017 kami mendata sekitar 198 kasus kekerasan berbasis gender dimana kekerasan dalam rumah tangga meningkat 108 kasus, dimana kekerasan penelantaran ekonomi sangat menonjol," kata Direktur Lappan Ambon, Baihajar Tualeka, saat peluncuran catatan tahunan (Catahu), di Ambon, Sabtu.

Ia mengatakan, kasus kekerasan seksual perkosaan sebanyak 45 kasus dengan rata-rata usia korban 3-17 tahun, kasus pelecehan seksual 20 kasus, kasus cabul sebanyak 20 kasus dengan usia berkisar 2- 10 tahun, selain itu kasus percobaan perkosaan lima kasus dan trafficking sebanyak tiga kasus.

"Seluruh kasus yang terjadi ini di usia yang sangat rentan, karena itu kita berupaya agar masyarakat bebas dari segala bentuk kekerasan dan rasa takut untuk mencapai keadilan dan kedaulatan bagi masyarakat miskin termasuk perempuan dan kelompok marginal," katanya Menurut dia, kondisi yang terjadi di Maluku sangat memprihatinkan karena angka kekerasan terus meningkat, serta korban berjuang sendiri untuk mencari keadilan, memperkuat diri guna mendapatkan dukungan pemulihan tanpa adanya bantuan dari pemerintah.

Dari data tersebut kata Baihajar, empat anak korban perkosaan yang mengalami kehamilan tidak dapat melanjutkan pendidikan, karena dikeluarkan secara sepihak dari sekolah.

"Rata-rata korban kekerasan seksual maupun KDRT adalah perempuan rentan, orang miskin bahkan tidak memiliki jaminan perlindungan sosial seperti BPJS KIS, sehingga kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, terutama layanan kesehatan reproduksi," ujarnya.

Ia menjelaskan, beberapa korban KDRT juga tidak memiliki buku nikah, pernikahan yang tidak dicactt ini berdampak buruk bagi korban dalam mengakses lembaga hukum formal untuk kasus pidana dan perdata.

"Bila korban tidak bisa mengakses lembaga hukum formal maka hak atas keadilan tidak terpenuhi," jelasnya.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga lanjutnya memiskinkan perempuan karena korban tidak memiliki mata pencaharian, beban ganda disebabkan semua urusan rumah tangga dan pola asuh anak menjadi tanggung jawab istri.

"Kondisi ini berdampak pada pemiskinan perempuan karena kehilangan sumber penghasilan, tidak memiliki jaminan perlindungan sosial dan masih depresi dengan masalah kekerasan yang dihadapinya," kata Baihajar.

Diakuinya, kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang merendahkan martabat kemanusiaan seseorang. Kekerasan seksual tidak hanya merusak tubuh korban secara fisik, tetapi keseluruhan tubuh termasuk organ reproduksi mengalami kerusakan.

"Pemulihan korban dan layanan kesehatan reproduksi dan visum menjadi tanggung jawab pemerintah bagi korban agar bisa mendapat penanganan secara berkala, hingga kondisi mereka pulih dan lebih baik," tandasnya. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Gito Adiputro Wiratno

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: