Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

'Kami Jual Quality of Life di Amerika'

'Kami Jual Quality of Life di Amerika' Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Hampir di setiap sudut lokasi strategis di kawasan Jabodetabek akan terpampang baliho dan iklan Meikarta dengan slogan “Aku mau pindah ke Meikarta”. Publik pun dibuat tak percaya bahwa ada harga satu unit hunian sebesar Rp127 jutaan, padahal harga dasar pemerintah saja bisa Rp180 jutaan.

Ketika Meikarta diluncurkan pada medio Mei 2017, bak menjual kacang goreng, unit hunian yang murah meriah dengan jaminan kelengkapan fasilitas di sebuah kota modern Meikarta itu ludes. Museum Rekor Indonesia (MURI) mencatat sukses penjualan perdana Meikarta yang laku 16.800 unit dalam sehari sebagai penjualan terbesar dalam sejarah.

Nama Meikarta diambil dari nama ibu kandung keluarga Riady, Mei, dan diimbuhi “karta” yang dekat dengan nama Jakarta, ibu kota negara ini. Meikarta merupakan pusat kota dari kawasan industri dan perumahan di Lippo Cikarang. Alkisah, founder dan CEO Lippo Group, Mochtar Riady, menyebut Lippo Cikarang sebagai “Little Shenzhen Indonesia”. Namun, di kawasan Lippo Cikarang belum ada pusat kota seperti di Shenzhen, Cina. Dari sinilah mengalir gagasan untuk membangun pusat kota bagi “Little Shenzhen Indonesia” di Cikarang, dan lahirlah Meikarta. Untuk membangun sebuah kota baru, setidaknya dibutuhkan dana Rp280 triliunan. 

Pada 29 Oktober lalu, tahap awal pembangunan dua menara di Meikarta yang sudah memasuki tahapan topping-off, di sini Lippo mengandalkan dana pribadi. Hasil pre-selling dua menara tersebut bernilai Rp1 triliun. Tidak ada yang menyangsikan bahwa Lippo piawai dalam membangun sebuah kota baru, seperti ketika membangun Lippo Karawaci di Tangerang, Banten, dan kota Tanjung Bunga di Makassar, Sulawesi Selatan.

Segudang fasilitas kelas satu ditawarkan Lippo di Meikarta. Sebut saja fasilitas ruang terbuka berupa taman seluas 100 hektar, pintu akses langsung ke Meikarta dari jalan tol Jakarta-Cikampek, rumah sakit, sekolah bertaraf internasional, hotel berbintang, pusat perbelanjaan, pusat hiburan, gedung teater bertaraf internasional, perguruan tinggi swasta (Universitas Pelita Harapan (UPH)), dan perguruan tinggi negeri (sedang penjajakan). 

Berikut cuplikan perbincangan wartawan majalah Warta Ekonomi, Heri Lingga, dengan CEO dan President Director PT Lippo Karawaci Tbk, Ketut Budi Wijaya, di kawasan Lippo Karawaci, Tangerang, Banten awal Oktober 2017.

Bisa diceritakan bagaimana awal munculnya gagasan pembangunan Meikarta?

Begini. Pada tahun 1990-an, Lippo Cikarang memiliki izin prinsip untuk mengelola lahan seluas 3.250 hektare. Dari luasan itu, sebagian besar dialokasikan untuk kawasan industri, sebagian lagi komersial dan hunian. Oleh sebab itu, perizinan atas pemakaian lahan sudah mencakup untuk kawasan industri, komersial, dan hunian.

Ketika kami mengurus perizinan, sudah pula mencakup analisis dampak lingkungan (amdal) untuk kawasan industri yang jauh lebih kompleks ketimbang amdal perumahan. Amdal perumahan itu hanya sebatas arus air kotor, akses terhadap air bersih ke lingkungan, ruang terbuka, dan seterusnya. Sedangkan, amdal untuk industri mencakup akses air bersih serta pengolahan arus air kotor (limbah) pabrik sebelum dialirkan ke sungai atau dipakai untuk tujuan lain.

Industri di Cikarang adalah industri low polutan, jadi tidak menimbulkan polusi dan tidak banyak asap yang dikeluarkan. Kemudian, limbahnya juga limbah-limbah yang bisa diolah oleh pusat-pusat pengolahan limbah kami. Manajemen kota juga termasuk pengelolaan terhadap limbah, jika limbah terlalu kotor, kita akan penalti pemilik pabriknya. Bukan itu saja, kita juga bisa setop mereka untuk beroperasi. Pemda pun ikut mengawasi kami.

Sejak awal, kawasan industri ini memang diperuntukkan bagi industri yang low polutan, ya?

Betul. Sewaktu kami memasarkan lahan untuk kawasan industri, kami sudah sampaikan persyaratan yang harus dipenuhi, termasuk low polutan. Kami akan mengawasi pengolahan limbah pabrik-pabrik yang ada di kawasan industri. Limbah tidak boleh dibuang langsung ke sungai, setiap limbah pabrik diolah kembali sampai bisa masuk lagi ke sistem air bersih. Jadi, boleh dibilang, tidak ada limbah yang terbuang di lokasi ini.

Dari luas lahan 3.250 hektare yang dikelola Lippo, berapa persen yang dipergunakan baik untuk kawasan industri dan perumahan?

Nah, dari prinsip mengelola 3.250 hektare, 70% sudah diolah dan sudah dijual. Sebetulnya, kalau dianggap sebagai kota industri, sudah lumayan matang (mature). Hunian kita juga penuh orang sehingga kita bangun beberapa menara yang juga sudah penuh diisi. 

Ketika foreign direct investment masuk kawasan industri Lippo Cikarang, masih banyak pegawai pabrik-pabrik yang bertempat tinggal di Jakarta. Hal ini memperlihatkan adanya kebutuhan sebuah kota yang mendukung industri-industri di sekitarnya.

Kami melihat hunian di daerah Cikarang ini masih kurang. Kota Bekasi juga masih kurang mendukung industri. Kebanyakan yang tinggal di Bekasi merupakan mereka yang bekerja di Jakarta. Nah, industri di Karawang tidak didukung oleh adanya kota sehingga orang melihat Cikarang. Inilah yang membuat hunian di Lippo Cikarang menjadi alternatif pilihan.

Perizinannya sudah ada sejak 2012 itu untuk membangun kota mandiri seperti Meikarta?

Iya, izin untuk membangun kota mandiri. Jadi, perizinan ini bukan barang baru. Hanya saja, karena kemarin properti lesu segala macam, kita merencanakan untuk melakukannya dengan lebih intensif dan masif. Cara ini kami tempuh karena pasar properti sedang menurun sejak 2014. Lalu, pada 2015 ada Pemilu, pemerintah baru masuk dan pasar turun lagi. Kemudian ada tax amnesty, tambah lagi turun. Jadi, orang yang beli properti wait and see. Pasalnya, dalam membeli properti tidak bisa short term, mesti untuk jangka panjang. 

Tetapi kenapa Lippo masuk ketika pasar sedang sepi?

Begini. Kami berharap pasar program tax amnesty berakhir pada 2017 dan pasar properti akan pulih kembali. Kalau kami memasarkan Meikarta memakai strategi lama di tengah pasar yang sedang lesu, pasti kagak nendang kalau istilah Betawinya. Oleh karena itu , kami memakai cara baru dalam memasarkan Meikarta, yakni masif dan intensif, untuk penetrasi pasar sekaligus membangkitkan kembali awareness orang bahwa inilah waktunya membeli properti.

Sebelum memasarkan Meikarta, Lippo sempat meluncurkan produk Orange Country, tapi kurang seheboh Meikarta. Mengapa?

Ketika kami memasarkan produk rumah hunian Orange Country di atas lahan seluas 11 hektare, strategi yang kami pakai masih memakai paradigma pemasaran gaya lama. Maklumlah, hunian yang mengambil nama dari sebuah tempat di Amerika Serikat yang dihuni oleh multi-etnis ini membidik target konsumen kelas menengah ke atas. Harga yang kami tawarkan ketika itu Rp15 juta sampai Rp20 juta per meter persegi. Pengembang asing dan konsumennya juga kebanyakan ekspat.

Ketika kami menggarap kawasan Orange Country itu, ada satu perusahaan Jepang yang memborong satu tower apartement, walhasil kami jadi tidak perlu mengadakan acara peluncuran. Menara lainnya juga terjual habis, malah kelebihan animo pembeli. Untuk melayani permintaan tersebut, kami menjual lagi satu menara tanpa gambar, tetapi kami mengatakan bahwa menaranya mirip dengan yang sebelumnya, itu pun terserap habis. Jadi, boleh dibilang memang permintaannya terbilang tinggi.

Jadi, kondisi properti sebenarnya sedang tidak sepenuhnya lesu? 

Tidak juga memang, tetapi tidak bisa dimungkiri secara makro market-nya masih melemah. Kami mencermati permintaan lebih ke high end, ya. Dari sinilah mengalir gagasan untuk membangun suatu kota bagi seluruh kawasan industri yang ada di Cikarang yang akan mengakomodasi seluruh lapisan masyarakat.

Kapankah konsep high end itu keluar?

Sebetulnya, kalau mendengarkan Pak  Mochtar Riady berbicara, beliau selalu bilang bahwa sebetulnya Lippo Cikarang dan sekitarnya sudah menjadi seperti "Little Shenzhen Indonesia". Jadi, beliau memang sudah lama membayangkan kawasan ini sebagai Little Shenzhen. 

Bukan Meikarta yang jadi Shenzhen, tetapi semua yang ada di kawasan Lippo Cikarang menjadi Shenzhen. Nah, kota Shenzhen memiliki pusat kota, sedangkan di Lippo Cikarang belum ada, dari sinilah lahir gagasan membangun Meikarta yang merupakan bagian dari grand design ketika menggagas pembangunan “Little Shenzhen Indonesia”.

Di kawasan ini ada 7 kawasan industri yang memproduksi 60% produk manufaktur di Indonesia. Dengan kenyataan inilah, Lippo Cikarang diidentikkan dengan Shenzhen di Cina yang memang basis industri. Jadi, kawasan industri sudah ada dan kawasan hunian juga tersedia, tetapi belum ada pusat kota dan fasilitas pendukung lainnya. Makanya, Meikarta dipersiapkan sebagai pusat kota dengan segala kelengkapan fasilitasnya. Kota pendukung adalah kota yang bisa dihuni, kota yang bisa menjadi tempat bekerja. Dihuni berarti juga beranak pinak di situ, berarti ada tempat pendidikan untuk anak, tempat tinggal, rumah sakit, dan tempat hiburan.

Kenapa tidak Orange Country yang dipersiapkan?

Di Orange Country warganya baru 50 ribu jiwa, padahal kalau kita ingin mendukung seluruh kawasan industri ini dengan satu kota bisnis, kota modern, seharusnya kota tersebut mampu menampung paling tidak satu juta orang. Di Orange Country dibangun lima apartemen dengan pasokan 1.500 unit, jumlah yang sedikit untuk menampung satu juta populasi. Oleh karena itu, perlu dibangun sebuah kawasan yang lebih masif, yang mampu menyerap setidaknya satu juta jiwa sehingga lahirlah sebuah kota.

Sebenarnya, Pak Mochtar Riady kerap melontarkan bahwa Lippo Cikarang itu mirip Shenzhen di Cina, tetapi di sini (Cikarang) belum ada pusat kotanya. Lalu, para eksekutif di Lippo pun menerjemahkan gagasan beliau menjadi sebuah ide yang workable, jadilah Meikarta. Tetapi, ketika gagasan membangun Meikarta itu jadi, kondisi makro perekonomian belumlah mendukung karena masih mengalami kelesuan dengan berbagai sebab. Makanya, ketika Orange Country diluncurkan, Meikarta pun secara konsep sudah matang dan tinggal eksekusi.

Jadi, gagasan melahirkan Meikarta itu bukan ide yang begitu saja datang. Kami sudah lama mempersiapkan Meikarta ini sebagai pusat kota dari Lippo Cikarang yang kami sebut sebagai “Little Shenzhen Indonesia” tadi. Ketika kami perkenalkan dan luncurkan Meikarta sebagai sebuah kota baru dengan skala yang masif dari sisi pemasaran, sebenarnya kota itu berada di lahan yang sudah lama dipersiapkan untuk itu. Jadi, membuat perizinannya juga sudah dari dulu. Ketika kami meluncurkan Orange Country kenapa tidak ada masalah, padahal lahan untuk membangun Meikarta di kawasan Lippo Cikarang sudah lama dipersiapkan.

Apa pemantik yang akhirnya mendorong Lippo meluncurkan Meikarta?

Apa yang kami lakukan tentu ada konteksnya. Langkah Presiden Jokowi yang mengebut proyek infrastruktur di era pemerintahan sebelumnya mandek . Misalnya, pembangunan Bandara Kertajati di Subang yang baru direalisasikan di era Presiden Jokowi. Pembangunan deep sea port di Patimban, proyek jalan tol layang (elevated toll road) Jakarta-Cikampek, pembangunan LRT monorail, kereta api cepat Jakarta-Bandung yang juga melewati Cikarang, dan bandara baru Kertajati International Airport. Nah, ketika semua infrastruktur dibangun pemerintah, tentu membutuhkan struktur-struktur yang juga mendukung, seperti kota-kota yang mendukung. Jika tidak demikian, pembangunan infrastruktur tadi akan idle. 

Jadi, momentumnya adalah langkah pemerintah dalam mengebut proyek properti, ya? 

Benar. Namun, perlu kami sampaikan bahwa Lippo Group bukan developer biasa, kami merupakan township developer atau pengembang sebuah kota. Ketika kami mengembangkan perumahan Lippo Karawaci, Tangerang Provinsi Banten, banyak orang mencibir karena wilayah itu adalah semak-semak, tempat jin buang anak, dan daerah gangster. Tetapi ketika kota ini sudah jadi, semua orang bilang, kok, seperti tidak di Indonesia ya?

Begitu juga ketika kami mengembangkan kota baru di Tanjung Bunga, Makassar. Sebelum dibangun, masyarakat setempat menyebut Tanjung Bunga sebagai tempat jin buang anak juga. Tetapi setelah Lippo masuk dan menyulapnya menjadi sebuah kota baru Tanjung Bunga, kawasan itu menjadi prestisius dan membanggakan bagi penghuninya. 

Anda mengatakan Lippo merupakan pengembang sebuah kota. Sebenarnya, apa yang ingin dicapai dengan kehadiran kota baru? 

Begini. Membangun mungkin sesuatu hal yang mudah, semua orang bisa, insinyur banyak, arsitek banyak, dan tenaga ahli lainnya juga tersedia. Tetapi, membangun sebuah komunitas mungkin perkara yang agak berbeda ya. Menurut saya, tidak semua orang bisa membangun komunitas, apalagi membangun sebuah kota dengan semua fasilitas transportasi yang terintegrasi dengan fasilitas lainnya, hiburan, sekolah, rumah sakit, taman bermain, pusat perbelanjaan, hotel, fasilitas olahraga, dan hunian.

Jadi, dengan mengusung sebuah kota terintegrasi, kami berharap akan banyak perusahaan-perusahaan membuka kantor di dekat pabriknya. Dengan demikian, mereka lebih efisien, beban lalu lintas berkurang, beban infrastruktur juga berkurang. Nah, yang orang kerap luput perhatikan adalah efisiensi industri yang akan menjadi low cost industry. Sekarang ini industri dihadapkan pada persoalan high cost dan produktivitas rendah. Kenapa produktivitas rendah? Lha, pekerjanya mesti menempuh macet dua jam menuju ke lokasi kerja, begitu sampai kantor atau pabrik sudah pegel, suruh lagi ngerjain segala macam, jadi tidak produktif. 

Sekarang, kalau jarak tempuh rumah ke tempat kerja itu 30 menit, akan ikut pula membangun kualitas kehidupan dengan tidak ada stres di jalan serta kehilangan energi fisik dan psikis, itu belum termasuk biaya untuk ongkos atau bensin kendaraan. Dengan hunian dan tempat kerja yang menyatu dalam satu kawasan di Lippo Cikarang dan Meikarta menjadi pusat kotanya, quality of life akan meningkat. Salah satu output terbangunnya quality of life ialah peacefull mind karena damai di rumah akan berdampak pada peningkatan produktivitas. 

Lippo menjual produk apartemen dengan harga terendah Rp127 jutaan, sedangkan untuk membangun sebuah kota, dibutuhkan biaya besar, setidaknya Rp278 triliun untuk kurun waktu 20 tahun. Bagaimana Anda mengelolanya?

Kami bisa menjual dengan harga murah karena biaya ditentukan dari cara membangun. Pemakaian teknologi akan memangkas biaya dan pengalaman panjang kami sebagai pengembang kota. Selain itu, kami kan membangun unit-unit hunian dalam skala masif. Dengan skala itu, tentu kami bisa menjual harga lebih rendah dari pengembang lain. Memang, margin kami menjadi tipis, tetapi dengan skala yang masif tentu skala ekonominya akan kita dapatkan. 

Kami melepas unit hunian dengan harga yang terjangkau karena ada misi perusahaan yang ingin membei kesempatan kepada kaum pekerja (pabrik yang ada di kawasan Lippo Cikarang atau di luar kawasan) untuk bisa memiliki hunian sendiri. Pemerintah menginformasikan, d i Indonesia masih butuh setidaknya 11,38 juta unit rumah. Kehadiran Meikarta juga dalam rangka ikut membantu mengurangi kesenjangan hunian. 

Dengan marginnya yang tipis, skala masif tetap masih bisa menopang pembiayaan Meikarta yang begitu besar?

Selain ada unit-unit hunian yang terjangkau bagi para pekerja, tentu nanti ada unit-unit premium dan daerah-daerah komersial yang juga premium. Untuk membangun satu komunitas, tentu mesti menyerap semua golongan masyarakat ada dalam satu wilayah. Kalau kami membangun unit hunian hanya di kelas premium, kemungkinan itu hanya berisi segelintir orang saja, tidak terbentuk komunitas. Komersial tidak akan terjadi tanpa adanya komunitas.

Sebenarnya, apa yang sedang kami kerjakan di Meikarta itu bukan melulu hanya strategi marketing yang mengesankan kami sedang jualan unit hunian murah, tidak! Kami ingin menyampaikan value. Maksud saya begini, kalau beranjak ke pemikiran yang lebih holistik: terhadap orang tinggal, berkeluarga, bekerja, bermain dan tumbuh kembang, maka pokok pembicaraan akan tertuju pada quality of life. Nah, kami berharap semua golongan pekerja di perusahaan yang berbeda (owner, direksi, manajer, dan pekerja) bisa terserap di Meikarta. 

Penjualan Meikarta ibaratnya seperti kacang goreng alias laku keras, begitukah? 

Di iklan, kami bilang yang paling murah seharga Rp127 juta, itu langsung habis. Kami sedang mendesain ulang blok untuk hunian terjangkau ini. Nyatanya masih banyak orang yang ragu untuk membeli rumah ketika melihat harga rumah yang sekarang ditawarkan di koran atau banner-banner, begitu melihat iklan tersebut, mereka langsung lesu. Bekerja sampai bungkuk pun tidak akan terbeli. Nah, konsumen yang dananya pas-pasan tadi sekarang memiliki pilihan untuk tinggal di Meikarta.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan 84 hektare sampai kota Meikarta itu lengkap terbangun?

Untuk menggarap Meikarta, tentu dilakukan secara bertahap. Kami berharap lima tahun sudah rampung, bukan 20 tahun. Model seperti itu sudah ketinggalan zaman, sekarang ini semua serba instan, benar bukan?

Bagaimana dengan pendanaannya? 

Dana untuk membangun menara-menara itu kita dapatkan dari hasil preselling dan dana internal perusahaan. Karena skalanya masif, marketing-nya mesti masif juga. Untuk pengembangan lanjutan, kami masih menjajaki kemitraan dengan pihak lain.

Apakah ada proyek lain yang akan dikerjakan Lippo setelah Meikarta?

Jangan bicara sesuatu yang lebih besar lagi (dari Meikarta-red), nanti malah jadi urusan hahaha.. Begini, membangun sebuah pusat kota seperti Meikarta dengan luasan 500 hektare itu bukan perkara kecil. Dari luasan itu, kami alokasikan 100 hektare untuk ruang publik, seperti taman. Di Meikarta ini kami bukan sedang berwacana, tetapi sedang membangun sebuah komunitas yang tinggal dalam sebuah kota.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: