Provinsi Jawa Barat menduduki provinsi kedua dengan kasus penderita difteri terbanyak di Indonesia, menyusul Jawa Timur di posisi pertama. Ini pula yang menjadikan angka penderita difteri di Indonesia meningkat dalam dua tahun terakhir.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Prof. Alex Chairul Fatah, dr., Sp.A(K) mengatakan buruknya, penyakit ini tidak hanya menyerang kelompok usia anak-anak, namun juga menyerang usia remaja dan orang tua. Apabila tidak diobati dan penderita tidak mempunyai kekebalan, angka kematiannya akan mencapai 50%. Bila diobati akan turun 10%.
"Ini dapat mengancam kehidupan," kata Alex saat menjadi pembicara dalam diskusi “Mengupas Tuntas Waspada Difteri” yang digelar Dewan Profesor Unpad di Auditorium Rumah Sakit Pendidikan Unpad, Jalan Eijkman No. 38, Bandung, Senin (5/2/2018).
Sebelumnya, kata Alex, Difteri rentan menular ke anak-anak. Namun, melihat data penderita difteri di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, ditemukan penderita berusia 71 tahun. Sementara di Surabaya, saat ditemukan kasus difteri pada usia dewasa, para tenaga medis sempat menduga bahwa penyakit tersebut bukanlah difteri.
Alex ini mengungkapkan hampir seluruh wilayah di Indonesia ditemukan adanya kasus difteri. Rata-rata, kasus ini menyerang kelompok usia 4–8 tahun dan kelompok usia 15 tahun ke atas. Prof. Ia menilai, perubahan paradigma masyarakat yang menolak vaksin menjadi penyebab tingginya penyebaran difteri pada orang dewasa.
"Beberapa faktor lainnya yaitu perubahan jadwal imunisasi pada kelompok usia tertentu dan masih buruknya pelayanan kesehatan di Indonesia," ujar Alex.
Senada dengan Guru Besar Fakultas Kedokteran Unpad Prof. Dr. Kusnadi Rusmil, dr., Sp.A(K) menyebutkan pola imunisasi ulangan (booster) tidak banyak dilakukan di Indonesia.
Rendahnya pola imunisasi ini menjadikan kekebalan imunitas (herd immunity) masyarakat Indonesia rendah. Dalam beberapa lama, berbagai macam penyakit akan dengan mudah menyerang populasi dengan kekebalan yang rendah dan menularkan kembali kepada yang lainnya.
Dalam kasus difteri saja, satu penderita berisiko menularkan difteri kepada 6–7 orang. Jika kekebalan tiap orang rendah, wabah ini berisiko menularkan ke sejumlah orang lainnya. Satu orang akan kebal terhadap difteri jika kekebalan imunitasnya di atas 85%.
Untuk itu, Kusnadi mendorong pihak terkait melakukan imunisasi massal. Imunisasi ulangan penting dilakukan terutama bagi kelompok usia prasekolah, remaja, hingga kelompok lanjut usia. Saat ini, pola imunisasi lengkap masih pada kelompok usia 0–1 tahun, 2 tahun, dan usia sekolah.
“Kita belum ada imunisasi untuk remaja, kita harapkan Dinas Kesehatan mulai menganjurkan imunisasi remaja. Pada lansia, imunisasi juga dilakukan untuk mengurangi morbiditas,” ujar Prof. Kusnadi.
Pemerintah juga harus merespons cepat terhadap penyebaran wabah difteri. Prof. Kusnadi mengatakan, upaya Outbreaks Response Imun (ORI) seharusnya dilakukan tatkala ditemukan minimal satu penderita difteri.
"ORI ini merupakan langkah untuk memutus mata rantai penyebaran virus," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Vicky Fadil