Industri elektronika nasional mulai berkembang di dekade 1970-an hingga pertengahan dekade 1980-an saat pemerintah memberlakukan kebijakan substitusi impor (deletion program). Kala itu, pemerintah memberlakukan kebijakan pelarangan impor barang jadi dengan harapan membangun konten lokal. Ada 3 kriteria industri komponen, antara lain kriteria A (komponen aktif, seperti IC dan semikonduktor), kriteria B (komponen semi-aktif, seperti mechanical part), dan kriteria C (komponen berteknologi rendah, seperti speaker dan kabel). Pemerintah kala itu ingin melokalisasi komponen secara bertahap, mulai dari komponen C, terus ke B, dan A.
Alhasil, munculah 15 agen tunggal pemegang merek (ATPM) elektronik, termasuk dua perusahaan multinasional AS, Fairchild dan National Semiconductors, yang membuka pabrik di Indonesia. Waktu itu, tepatnya tahun 1985, ekspor elektronik Indonesia sudah mencapai 15% dari total ekspor manufaktur Indonesia dengan nilai ekspor semikonduktor kita sudah mencapai $135 juta. Perkembangan industri selanjutnya di dekade 1985-an hingga 1990-an akhir diwarnai dengan kebijakan manufaktur outward looking yang berorientasi ekspor.
Perusahaan elektronik berstatus penanaman modal asing (PMA) pun semakin ramai membangun pabrik di dalam negeri. Jumlah perusahaan PMA lebih dari 58 perusahaan. Saat itu, ekspor industri elektronik sebagaimana ekspor industri manufaktur secara umum meningkat pesat. Namun, dengan semakin dominannya peran perusahaan prinsipal, justru local content semakin diabaikan. PMA lebih condong untuk memakai komponen dari pemasoknya sendiri yang berlokasi di luar negeri. Wajah industri komponen pun mulai meredup.
Pada tahun 1992, pemerintah menyepakati ASEAN Free Trade Area (AFTA). Melalui skema Common Effective Prefential Tariff (CEPT), semua barang (termasuk elektronika) yang diproduksi di antara negara ASEAN yang memenuhi ketentuan 40% kandungan lokal akan dikenai tarif 0%—5%. CEPT efektif berlaku sejak 2003. Ada waktu sebelas tahun bagi pemerintah RI untuk menyiapkan diri bertarung di AFTA. Yang disayangkan, banyak pihak, waktu persiapan itu tidak dipakai secara optimal. Misalnya, bagaimana menyiapkan pelaku industri elektronika dan industri penyokong untuk siap bertarung melawan produk elektronika negara ASEAN lainnya.
Dengan berlakunya AFTA dan free trade aggrement (FTA) lainnya, produk impor utuh termasuk elektronika tidak lagi dikenakan hambatan tarif seperti bea masuk (BM). Tetapi, impor komponen elektronika justru dikenakan tarif BM. Banjirlah pasar dalam negeri dengan produk elektronika dengan harga bersaing dari negara-negara ASEAN dan Cina. Kondisi ini membuat produsen elektronika dalam negeri dihadapkan pada situasi yang berat. “Kondisi ini cenderung membuat orang lebih memilih menjadi pedagang ketimbang membangun industri elektronika,” ujar Ali Soebrto Oentaryo, CEO PT Panggung Electric Citrabuana.
Situasi seperti ini membuat industri komponen di dalam negeri dihadapkan pada kenyataan yang berat. Hasilnya, pelaku industri elektronika masih harus mengimpor bahan baku dan komponen inti. Catatan dari Gabungan Perusahaan Industri Elektronika dan Alat-Alat Listrik Rumah Tangga (Gabel) adalah quality, cost, dan delivery pemasok lokal masih rendah dengan ketersediaan electronical parts hanya 21%, mechanical parts hanya 26%, cooling devices hanya 18%, bahan mentah hanya 28%, dan added value hanya 7%.
Begitu pula dengan kondisi suplai bahan baku dan komponen inti industri elektronika yang masih tertinggal dibanding negara lain di ASEAN. Misalnya, urusan baku (steel, resin, copper, aluminium, kraft) Indonesia hanya di level 13 (kurang kompetitif) dibanding Thailand yang 20 (kompetitif) dan Malaysia 16 (kompetitif). Begitu juga dengan kualitas komponen inti (kompresor, heat exchanger, electronics components, motor, PCB) Indonesia hanya 12, dibandingkan dengan Thailand 23 dan Malaysia 17. Kinerja ekspor elektronika pun menyusut.
Coba telisik salah satu produk elektronika seperti air conditioner (AC). Data Gabel menyebutkan, ada 33 merek yang beredar di pasar dalam negeri. Dari jumlah itu, hanya AC merek Panasonic yang diproduksi secara full manufaturing di dalam negeri, merek LG dan Polytron hanya dirakit di dalam negeri, dan merek lainnya fully import utuh. Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) AC Panasonic mencapai 50%. AC merek LG dan Polytron mayoritas (sekitar 60%) kebutuhan komponen masih diimpor. Gambaran ini memperlihatkan betapa produk AC masih didominasi barang impor dan komponen impor.
Dari 33 merek AC, sepuluh merek (Panasonic, LG, Sharp, Samsung, Daikin, Polytron, Midea, Haier, Mitsubishi, Sanken) menguasai mayoritas (89%) pasar AC di dalam negeri. Gabel perkirakan, permintaan AC di dalam negeri pada 2018 sebesar 2,3 juta unit dengan komposisi 1.555.000 juta unit AC dari jenis standar (noninverter), 349 ribu unit dari jenis AC low watt, dan 396 ribu unit dari jenis AC inverter. Semestinya, dengan pasar AC sebesar itu dan akan terus bertumbuh, pemerintah bisa mengupayakan untuk menarik industri komponen penting AC seperti kompresor ke dalam negeri.
Caranya? Jemput bola. Pemerintah datang ke produsen kompresor AC seperti di Cina agar mau membangun pabrik di Indonesia dengan membuka data potensi pasar AC di dalam negeri yang tingkat penetrasinya baru 26% dari jumlah penduduk Indonesia (261,1 juta pada 2016), tawaran insentif fiskal yang menarik dan kemudahan berinvestasi. Gabel menilai tawaran tax allowance atau tax holiday yang ada saat ini kurang menarik investor. Pasalnya, syarat untuk mendapatkannya terlalu berat. Semisal, harus menginvestasikan uang US$100 juta, padahal bangun pabrik komponen elektronika hanya membutuhkan dana US$20 juta. Alhasil, yang menikmati fasilitas tax holiday itu hanya segelintir perusahaan saja.
Masihkah ada asa untuk membangun industri komponen elektronika di dalam negeri? Tentu. Caranya bisa bermacam-macam. Misalnya, dengan regulasi TKDN tertentu atau kewajiban memenuhi SNI dan lainnya. Dengan adanya regulasi TKDN, akan ada kewajiban ‘moral’ bagi PMA elektronika di dalam negeri untuk memanfaatkan produk komponen lokal sekaligus membina mereka menjadi pemasok yang memenuhi standar industri. Namun yang terpenting, pemerintah paham dulu bahwa untuk membangun industri komponen itu ada tahap-tahapannya yang dimulai dari proses perakitan (assembling) di dalam negeri. “Setelah dirakit di dalam negeri, dicoba untuk memproduksinya di dalam negeri. Dari sini akan muncul industri komponen dan bahan baku,” ujar Daniel Suhardiman, pejabat direktur di Panasonic Manufacturing Indonesia.
Sebanyak 33 perusahaan elektronika yang menjadi anggota sudah melakukan kerja sama dengan 300-an industri kecil menengah (IKM) yang menjadi pemasok. Panasonic-Gobel, misalnya, telah menjalin rekanan dengan 230 IKM selaku pemasok komponen. Produsen elektronika lainnya yang aktif dalam menjalin kemitraan dengan IKM, yakni PT Indonesia Epson Industry (IEI). Selain itu, Epson dan Panasonic membangun pabrik komponen elektronika bernama Patco yang berlokasi di Cibitung, Jawa Barat. “Keberpihakan pemerintah RI diperlukan dalam menumbuhkan industri komponen sebagai penyangga industri elektronika di Indonesia,” ujar Eitci Abe, CEP PT IEI.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: