Komisaris perusahaan startup lokal peer to peer lending (P2P) untuk properti Gradana Freenyan Liwang mengklarifikasi opini bahwa teknologi finansial (tekfin atau fintech) merupakan bentuk lain dari rentenir digital.
Menurut Freenyan, melalui pernyataan resmi yang diterima di Jakarta, Sabtu (10/3/2018), Gradana dan perusahaan tekfin lainnya yang bergerak dalam bidang pembayaran atau pembiayaan UMKM justru menjadi bagian dari solusi untuk merealisasikan program pemerintah tentang inklusi keuangan.
Dengan adanya model bisnis seperti itu, seluruh lapisan masyarakat bisa mengakses lembaga keuangan dengan lebih mudah melalui saluran-saluran pembiayaan khusus yang saat ini belum dapat difasilitasi oleh institusi keuangan konvesional.
"Dengan adanya fungsi teknologi, segala bentuk persyaratan administrasi atau pelengkap bisa dilakukan secara online dan bisa diakses kapan pun, bahkan tidak hanya pada jam kerja kantor saja." ujarnya.
Untuk Gradana sendiri, lanjuntnya pihaknya tetap melakukan due diligence dan pengecekan terhadap calon debitur atau peminjam mengingat para konsumen nantinya juga akan melanjutkan KPR ke bank-bank umum setelah cicilan DP mereka selesai.
Mantan Direktur Bank Sinarmas itu juga menegaskan bahwa saat ini inklusi keuangan belum optimal di Indonesia sehingga pemerintah menggalakkannya dengan lebih giat lagi terutama saat kunjungan Ratu Maxima beberapa waktu yang lalu.
Tujuan inklusi keuangan agar setiap orang bisa mengakses sektor keuangan secara sederhana dan cepat, salah satunya melalui industri fintek.
Menurut Freenyan, istilah rentenir digital yang akhir-akhir ini marak mengacu kepada beberapa tekfin yang menawarkan payday loans dengan calon peminjam bisa mendapatkan uang secara cepat tanpa banyak persyaratan maupun verifikasi. Bunga yang dikenakan jauh lebih tinggi daripada perbankan karena sesuai dengan besaran risikonya.
"Semakin tinggi risiko tentu saja bunga yang diterapkan lebih tinggi. Contohnya adalah Kredit Tanpa Anggunan atau KTA. Tanpa jaminan sama sekali, namun risikonya besar bagi pemberi pinjaman. Tidak heran kalau bunganya mencapai 30 hingga 51 persen per tahun," katanya.
Dia menambahkan, untuk jenis payday loan tentunya akan dikenakan bunga lebih tinggi lagi karena kecepatan proses verifikasi diminimalisir.
Untuk Fintech P2P lending sendiri sudah diatur dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 di mana salah satu aspek yang ditonjolkan adalah para penyelenggara P2P tidak boleh melakukan balance-sheet lending di mana uang yang dipinjamkan berasal dari dana penyelanggara P2P itu sendiri.
Dalam peraturan tersebut disampaikan bahwa tugas penyelenggara hanya sebagai platform yang mempertemukan calon pemberi pinjaman / pendana dengan calon peminjam.
Tentunya sebagai platform, terutama para platform yang telah terdaftar di OJK, bertanggung jawab dan mempunyai kewajiban untuk menyampaikan informasi sebenar-benarnya. Sebagai industri yang baru berkembang di Indonesia, teknologi finansial masih membutuhkan edukasi yang lebih massif lagi ke target konsumen.
Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan izin kepada beberapa fintek untuk beroperasi di Indonesia.
"Pernyataan dari Ketua OJK mengenai rentenir tersebut harus disikapi dengan bijak. Tentu bukan berarti OJK sebagai lembaga ingin menghambat pertumbuhan industri ini ke depan. Justru OJK ingin agar masyarakat terlindungi dari pembiayaan yang merugikan. Kita siap untuk mengadopsi apapun regulasi yang dikeluarkan OJK agar masyarakat teredukasi dan tetap bisa mengambil manfaat dari keberadaan kami," ujar Freenyan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ratih Rahayu