Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jalan Panjang Transformasi Pos Indonesia

Jalan Panjang Transformasi Pos Indonesia Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Transformasi di tubuh Pos Indonesia bukan merupakan pekerjaan Sangkuriang. Perlu ketekunan dan kesabaran untuk mentransformasi perusahaan layanan pos pelat merah tersebut.

Senyum Gilarsi Wahyu Setijono mengembang ketika ditanyakan soal transformasi saat melakukan wawacara dengan redaksi Warta Ekonomi di Kantor Pos Indonesia, Jakarta, beberapa waktu lalu. Direktur Utama PT Pos Indonesia (Persero) tersebut optimis bisa melakukan transformasi sekaligus membangkitkan kejayaan Pos Indonesia.

Bagaimana caranya? Simak kutipan lengkap wawancara tim redaksi Warta Ekonomi dengan Dirut Pos Indonesia Gilarsi Wahyu berikut ini.

Bagaimana Anda memandang prospek industri jasa kurir pada tahun ini?

Pertumbuhan industri kurir di Indonesia didorong oleh e-commerce, baik yang berupa marketplace online atau social media commerce melalui Facebook dan Instagram. Perkembangan industri e-commerce tidak hanya berdampak positif, tetapi juga negatif yang salah satunya pada penutupan retail store.

Perkembangan e-commerce juga berdampak pada industri kurir yang mengalami pertumbuhan luar biasa besar tahun lalu, yakni tumbuh sekitar 30-40%. Walaupun beberapa marketplace mengalami stagnansi dan perlambatan pertumbuhan, tetapi tetap bahwa pergeseran tersebut nyata. Mungkin benar, marketplace tidak tumbuh tetapi jumlah social commerce terus bertambah.

Berjualan melalui social media berarti tidak ada kewajiban membayar fee atau komit terhadap peraturan yang dibuat oleh marketplace. Di samping itu, social media commerce memiliki aturan yang lebih longgar tergantung pada interaksi antara seller dan buyer.

Ke depan akan seperti apa? Parcel per kapita Indonesia memiliki level sekitar satu perpenduduk pertahun. Sementara itu, di China, rasio sekitar 19 parcel perorang pertahun yang bila dikalikan dengan 1,3 miliar total jumlah penduduknya maka sangat luar biasa. Jadi, kalau kita membicarakan satu menjadi 19 maka berarti pertumbuhan hampir 19 kali lipat.

Anggaplah tidak harus 19, tetapi 10 kali lipat saja. Kalau pengiriman parcel perorang menjadi 10 parcel pertahun maka terjadi pertumbuhan sebesar 10 kali lipat dari posisi kita sekarang. Kalau transaksi e-commerce kita saat ini di kisaran dua hingga tiga jutaan per hari dengan dikali 10 berarti menjadi 20 juta hingga 30 juta per hari. Pertumbuhan itu menjadi driver perubahan di ranah kurir. Hal tersebut juga turut menarik investment lokal maupun asing.

Apa transformasi yang disiapkan oleh Pos Indonesia dalam menangkap peluang tersebut?

Transfomasi membutuhkan tiga hal. Pertama, culture. Dahulu corporate culture kami merupakan kurir untuk kabar berita, uang, dan surat. Kemudian sekarang menjadi barang. Dulu ada barang, tapi kecil dan sedikit. Menjelang hari raya, jumlah kiriman kartu pos dan ucapan selamat lebaran bisa jutaan. Bahkan, kantor pos kecil saja bisa menerima sampai jutaan. Sekarang tidak ada lagi karena sudah ter-disrupt dan tergantikan oleh perkembangan teknologi informasi.

Kedua, culture yang didorong oleh perubahan produk dan model bisnis. Culture yang di-drive oleh perubahan produk seperti ketika dahulu Pos Indonesia menangani produk dua dimensi dan saat ini menjadi produk tiga dimensi. Dahulu, surat ditaruh di dalam satu tas. Dalam per hari satu Pak Pos bisa menangani sekitar 150-an kiriman surat. Tapi, sekarang dengan sepeda motor yang sama dan bag yang lebih besar, mereka hanya bisa mengirim paling banyak 50 barang. Nah, culture ini juga perlu diantisipasi, apakah akan mengandalkan model yang sama atau menggunakan model pengiriman yang berbeda?

Kemudian, cara meng-handle-nya. Dahulu pengiriman surat mau dilempar atau ditumpuk, tidak masalah. Tapi kalau sekarang pengiriman barang misalnya berupa handphone, kerupuk, atau peyek, kalau ditumpuk dan diinjak tentu akan rusak. Jadi, cara perlakuan terhadap barang sudah mengalami perubahan. Jadi, budaya-budaya di ruang kerja, cara kami melakukan handling, sudah sangat berubah. Nah, itu yang diakibatkan oleh produk.

Selanjutnya, perubahan yang diakibatkan oleh cara berpikir customer. Saat ini konsumen dengan segala kemudahan membuat mereka malas keluar untuk belanja karena bisa dilakukan dari rumah. Tadinya, kami datang ke kantor lalu melayani dengan baik, namun saat ini sudah tidak bisa lagi. Kalau walk in customers berkurang maka kami harus keluar untuk menjemput pelanggan.

Pelanggan e-commerce termasuk pelanggan yang tidak sabar, yang maunya real time. Sekarang mereka harus tahu persis di mana barang mereka, ada traceability. Kalau pada masa surat, mana ada orang menunggu-nunggu surat? Zaman dulu, orang menunggu surat jika mereka sedang kasmaran saja. Konsumen pada zaman surat tidak menunggu sambil khawatir: sampai di mana surat saya? Tapi, sekarang konsumen membeli barang itu sangat ceman dan berharap kiriman cepat sampai.

Perubahan-perubahan budaya yang diakibatkan oleh teknologi, gaya hidup, cara berpikir, dan kebutuhan konsumen membuat kami juga harus berubah. Dulu, mungkin kalau tidak datang ke kantor, orang ditanya: ke mana kok tidak datang ke kantor? Sekarang justru terbalik: kenapa kamu masih di kantor? Karena pasarnya ada di luar sana.

Kemudian, adalah model bisnis. Dulu, orang datang ke Pos Indonesia karena belum banyak alternatif. Namun, sekarang sangat banyak alternatif. Kalau kita hanya menunggu, orang tidak akan datang ke sini. Jadi, kami harus keluar, menjemput, melakukan pick up.

Ketiga, perubahan infrastruktur yang tadinya surat berubah menjadi parcel sehingga butuh ruang yang lebih besar, butuh mesin yang berbeda, butuh teknologi berbeda, dan proses bisnis yang berbeda.

Jadi, tiga elemen itulah yang harus dilakukan oleh Pos Indonesia secara paralel bergerak bersama untuk melakukan perubahan-perubahan. Hal yang perlu diingat bahwa kami tidak dari awal dilahirkan sebagai kurir untuk parcel sehingga ada transformasi di proses. Transformasi karena budaya yang melibatkan orang, education, e-learn. Inilah yang sedang kami lakukan saat ini.

Salah satu poin penting transformasi adalah manusia. Bagaimana Anda memastikan transformasi berjalan mulus ketika berhadapan dengan orang yang terjebak dengan kejayaan Pos di masa lalu

Persentase usia teman-teman Pos di atas 45 tahun sekitar 67%. Karyawan yang berusia antara 35-45 tahun sekitar 18%. Kemudian karyawan yang berusia di bawah 35 tahun kira-kira 17%. Nah, orang-orang yang berusia di atas 45 tahun pernah merasakan kejayaan Pos dan merasakan bagaimana Pos Indonesia sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Profesi mereka sangat dihargai pada zamannya. Nah, bagi mereka yang pernah mengalami kejayaan tersebut maka perubahan merupakan suatu hal yang sulit.

Satu hal yang mungkin agak menolong posisi Pos saat ini yakni Pos memiliki kepatuhan yang tinggi. Ketika direkrut, mereka sudah memiliki standar disiplin kepatuhan sehingga bersedia melakukan apapun yang memang memiliki petunjuk jelas. Mereka patuh dengan penuh kesadaran karena mengerti dan bisa juga tidak harus mengerti tetapi tetap patuh. Itulah yang menolong.

Namun, tidak cukup di situ. Transformasi ini harus tetap dilakukan. Akan tetapi, kelompok yang paling mudah adalah mereka yang berusia 35 tahun ke bawah karena bahasa mereka agak bersambungan dan beresonansi dengan kebutuhan pasar. Kalau kita bicara pelaku e-commerce, bukan hanya dalam konteks buyer tetapi juga seller.

Anak-anak yang lulus perguruan tinggi banyak tidak bekerja, tetapi menciptakan lapangan pekerjaan seperti membuat startup, menjadi seller, reseller, dan dropshippers. Rata-rata usia mereka adalah 30-31 tahun. Artinya, usia yang klop dan beresonansi dengan mereka yakni populasi Pos yang berusia di bawah 35 tahun. Di sinilah, kami harus berinvestasi besar-besaran agar mereka menjadi drive dari perubahan itu. Merekalah yang akan menjadi agent of change dari perubahan tersebut.

Kalau kami mengendalikan yang sudah 45 tahun ke atas, agak berat karena mereka sudah punya referensi: oh, dahulu begini. Kalau dulu, mereka cukup menunggu di kantor lalu orang datang lalu kini mereka harus keluar mencari pelanggan. Nah, itu konteks berpikir yang berbeda.

Komposisi karyawan 45 tahun ke atas sekitar 67%. Artinya, tantangan untuk melakukan transformasi di Pos Indonesia sangat berat?

Iya, betul, tantangan sangat berat.

Tantangan lain muncul dari eksternal seperti dari perkembangan digital dan kemunculan pemain baru. Bagaimana Anda menghadapi tantangan eksternal tersebut?

Disruption sudah di-recognize oleh Pos Indonesia sejak kehadiran internet. Saat internet masuk, Pos sudah merasakan disrupsi tersebut yang kemudian bermunculan perkembangan lain yang lebih inovatif, semakin baru, semakin user friendly, user interface makin bagus, dan user experience yang ditawarkan lebih baik.

Jadi, kecepatan kami memang harus berubah. Bisa memberikan user experience merupakan challenge untuk kami. Namun, ada satu hal yang fundamental. Pos memiliki footprint DNA yang jarang dimiliki oleh yang lain. Nah, tinggal bagaimana kami mengubah konteks relevansi bisnis ke dalam konteks lanskap ekonomi yang baru. Ini harusnya masih sangat relevan.

Misalnya, konteks orang berdagang melalui social commerce, ada seller dan buyer. Buyer tidak akan melepaskan uang sebelum melihat barang. Adapun, seller tidak akan melepaskan barang sebelum melihat uang. Kondisi tersebut menimbulkan dilema sehingga tidak terjadi transaksi. Oleh sebab itu, dibutuhkan penengah yang bisa memegang barang serta memegang uang. Siapa? Pos. Harusnya, Pos Indonesia bisa melakukan hal tersebut.

Namun, sekarang, apakah user interface kami dengan seller dan buyer sudah relevan dengan kebutuhan masing-masing? Nah, itu yang belum. Itu yang kami sedang fight untuk bisa memberikan user interface sehingga memberikan user experience yang baik kepada seller dan buyer.

Kemudian kantor pos tentu dapat dipakai sebagai tempat kios untuk marketpalce. Mereka dapat datang ke kantor pos untuk memilih barang, seperti yang sudah kami lakukan dengan Blibli. Mereka tinggal pilih barang dan bayar di situ lalu mereka akan terima kiriman dari Pos Indonesia. Hal ini bila digarap dengan sangat baik maka dua-duanya akan hidup kembali.

Fintech, dalam konteks payemnt gateway, bisa muncul kembali. Kalau payment gateway muncul, apa yang tidak bisa dilakukan? Walaupun tidak mempunyai license untuk melakukan lending, kami bisa membangun credit scoring yang modelnya sangat berbeda dengan banking. Basis banking adalah transaksi perbankan dan kolateral. Kalau berbasis behaviour misalnya seberapa sering mereka bertransaksi, membayar listrik suka terlambat atau tidak, dan bagaimana dengan pembayaran untuk hal lain maka ini menimbulkan sebuah behaviour scoring.

Dengan demikian, kami bisa melihat apakah seseorang tersebut dapat dipercaya atau tidak. Kalau trustworthy, mereka bisa di-refer kepada lending company seperti bank. Jadi, economy activity ini bisa dilakukan oleh Pos. Namun, secara teknologi, bisakah kami membuat ini menjadi relevan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pasar?

Jadi, apakah di balik semua ini kami masih bisa fight back? I think so. Hanya saja, kecepatan kami bertransformasi bisa membuat kami survive atau tidak. Contoh lain, bagi masyarakat yang tidak memiliki akun perbankan sebetulnya memiliki daya beli tetapi harus membayar secara cash. Berarti, cash on delivery (COD) menjadi sangat relevan. Siapa yang bisa memberikan layanan COD? Tidak banyak.

Sebenarnya, kami bisa memodifikasi. Produk itu dikirimkan ke kantor pos terdekat lalu pembeli disuruh menebus ke kantor pos. Jadi, sebetulnya banyak inovasi yang kami bangun ulang. Akan tetapi, konteks user interface kami dengan seller dan buyer harus dibuat sedemikian modern dan serelevan mungkin dengan kebutuhan yang ada sekarang sehingga sesuai dengan lifestyle yang mereka jalani. Itu yang menjadi kunci.

Apa inovasi digital yang dilakukan Pos Indonesia untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi?

Kami sadar inovasi digital merupakan keniscayaan. Di kurir, proses kami masih sangat manual. Dari proses collecting hingga delivery, belum semua Pak Pos memanfaatkan perkembangan digital. Kami sedang melakukan proses perubahan mendigitalisasi semua proses. Dengan demikian, hanya butuh one entry saja untuk collecting sampai di delivery.

Bahkan, mungkin kami juga butuh intenet of thing (IoT) sehingga semua titik-titik pengiriman terkoneksi. Kalau intenet of thing-nya ter-connect, trace and track menjadi sangat real time. Nah, di konteks kurir, kami sedang berproses ke arah situ. Seberapa cepat? Iya, memang tidak cepat. Saya paham bahwa ada kegagapan di Pos Indonesia sebagai perusahaan yang terlahir bukan terlahir bukan di era digital.

Memang ada kelambatan, tetapi karena kami fokus dan tahu betul apa yang diinginkan maka perubahan relatif berjalan. Rasanya, tahun ini kami sudah bisa mendigitalisasi proses di kurir, mulai dari collecting hingga delivery.

Kedua, di fintech. Kami sedang melakukan eksperimen melalui blockchain. Kalau teknologi blockchain berhasil kami terapkan, transaksi kami bisa jauh lebih baik dibanding bank. Bank masih sangat berbasis pada intermediary process. Kalau hal tesebut bisa kami lakukan, kami bisa lebih cepat, lebih murah, dan lebih trustworthy dibandingkan proses conventional banking.

Contohnya untuk remitensi. Orang kirim uang dari Arab Saudi ke Indonesia bila melalui proses konvensional paling tidak memakan waktu tiga sampai empat hari dengan biaya mahal. Kalau mau dititipkan, ada risiko uang hilang di tengah jalan.

Kalau blockchain bisa direalisasikan, orang bisa mengirim uang dengan cepat. Uang ada di sana, kemudian saya transfer ke Indonesia, tinggal mengatur protokol real time currency exchange. Ini yang sedang kami pikirkan, yakni kami ingin menggunakan conventional currency exchange model, misalnya riyal Arab Saudi ke dolar kemudian ke rupiah. Atau tidak perlu, tetapi menggunakan emas saja.

Misalnya, disimpan dalam bentuk emas. Kemudian, ketika pulang ke Indonesia tinggal diklaim saja. Toh value-nya sama. Bahkan, ada perlindungan nilai terhadap uang yang dimasukkan ke dalam bentuk riyal di Saudi sana sehingga ketika di Indonesia tidak terlalu terganggu dengan fluktuasi antara rupiah dengan currency asing ataupun dengan yang lain. Nah, itu yang sedang kami lakukan.

Namun, itu bukan perjalanan overnight. Tentunya, ketersebaran Pos itulah yang membuat inovasi tersebut dapat langsung tersebar di seluruh di Indonesia. Kami ingin membantu masyarakat melakukan proses remiten. Saya menargetkan biaya remiten bisa dibuat 3%. Kasihan, mereka sudah bekerja keras lalu saat mengirimkan uang pun masih diharuskan memikul biaya mahal. Kalau kami bisa menawarkan biaya lebih murah, kami lakukan.

Salah satu cost terbesar di hampir semua proses transaksi disebabkan adanya intermediary functions. Fungsi middle man itulah yang di-challenge oleh teknologi blockchain. Kenapa bank juga akhirnya berpikir: wow ini mengerikan kalau bank tidak juga bertransformasi. Pada 10-20 tahun yang akan datang bank belum tentu ada, tetapi banking masih tetap dibutuhkan dalam kaitan dengan fungsi lending dan funding.

Nah, kalau tetap mengikuti track yang dilakukan oleh perbankan maka kami tidak akan melakukan lompatan. Jadi, walaupun masih relatif early, kami harus mulai berani. Maka dari itu, kami melibatkan startup yang sedang giat memperdalam implementasi blockchain, terutama di dalam tansaksi keuangan. Kira-kira satu tahun lalu, kami mulai menggaet startup.

Dari sisi cost, teknologi digital membuat lebih murah dibandingkan model tradisional, termasuk juga gagasan misalnya membuang semua paper dalam transaksi Pos. Tidak usah pakai kertas lagi karena semua sudah dalam konteks digital. Kira-kira itu yang sedang kami lakukan. Saya belum bisa menjanjikan terlalu banyak namun kira-kira pada kuartal II kami sudah bisa menunjukkan produk kami yang berbasiskan teknologi blockchain kepada publik.

Terkait kolaborasi, Pos Indonesia juga banyak menjalin kerja sama dengan e-commerce. Apakah hal tersebut berdampak pada pendapatan Pos Indonesia?

Belum. Kami belum menggunakan hal tersebut sebagai ujung tombak pendapatan kami. Perbaikan-perbaikan hanya di tataran business process, belum sampai ke business model. Kalaupun ada perubahan di business model sangatlah simpel. Namun, bila blockchain ini bisa kami efektifkan maka banyak sekali model bisnis yang bisa berubah. Saat itulah, kami bisa memikirkan: oh ada efeknya untuk kita.

Anda dikenal sukses mengantarkan Shafira dari jurang keterpurukan menuju kesuksesan. Dengan segala tantangan yang ada ,apakah Anda masih optimis bisa melakukan hal serupa di Pos Indonesia?

Insya Allah, iya. Banyak sekali elemen yang memungkinkan. Apa yang saya ceritakan sejak awal merupakan elemen-elemen yang harusnya membuat saya optimis dengan semua ini. Satu hal yang memang sangat berat dan membutuhkan proses yang panjang yakni mengubah budaya, yang di dalamnya ada orang, learning, kompetensi, dan relevansi terhadap kebutuhan.

Namun, dari sisi business model, perbaikan di business process, infrastruktur, teknologi, rasanya tidak lambat. Iya, mungkin agak lambat karena protokol di BUMN tidak semudah ketika di Shafira. Saya datang memperbaiki Shafira tidak membutuhkan waktu yang terlalu panjang. Di Pos, saya masih memiliki optimisme tersebut, hanya memang membutuhkan waktu yang agak panjang.

Hal yang akan krusial yakni apakah kami akan bisa me-manage transformasi budaya ini menjadi budaya yang super transparan, yang digerakkan betul-betul secara profesional? Contohnya begini, di dalam career path-nya civil servant, senioritas selalu menjadi lini utama seperti urut kacang. Bisakah kami mengubah cara berpikir orang bahwa tidak harus seperti itu? Orang yang paling kompetenlah yang harus naik ke atas dalam waktu cepat. Bisakah itu dilakukan? Itulah yang berat.

Di luar itu, saya masih sangat optimis kita memiliki kesempatan. Baik fintech ataupun perusahaan baru, tidak memiliki footprint sebaik footprint Pos Indonesia. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: