Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Minyak Naik Lagi, Karena Stok AS Menurun

Minyak Naik Lagi, Karena Stok AS Menurun Kredit Foto: Reuters/Ramzi Boudina/File Photo
Warta Ekonomi, New York -

Harga minyak mencapai tingkat tertinggi dalam enam pekan pada akhir perdagangan Kamis (22/3/2018) pagi WIB, mendekati tertinggi tiga tahun yang dicapai akhir Januari, dipicu penurunan mengejutkan persediaan AS, kepatuhan yang kuat pada pemotongan produksi OPEC, dan berlanjutnya kekhawatiran tentang kesepakatan nuklir Iran.

Patokan global, minyak mentah Brent untuk pengiriman Mei bertambah 2,05 dolar AS atau 3,0 persen, menjadi ditutup pada 69,47 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange, tertinggi dalam hampir tujuh pekan terakhir.

Sementara itu, patokan AS, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei, melompat 1,63 dolar AS atau 2,6 persen, menjadi menetap di 65,17 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, tertinggi sejak 2 Februari.

Kenaikan tersebut menempatkan kedua acuan minyak mentah ke dalam wilayah "overbought" secara teknis untuk pertama kalinya sejak Januari, dan meningkatkan premi Brent atas WTI ke level tertingginya sejak awal Februari.

Data yang dirilis oleh Badan Informasi Energi AS (EIA) pada Rabu (21/3) pagi menunjukkan penurunan mengejutkan sebanyak 2,6 juta barel dalam persediaan minyak mentah. Para analis memperkirakan peningkatan sebanyak 2,5 juta barel.

"Beberapa hal terjadi," kata Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates, mengacu pada data EIA.

"Impor minyak mentah turun hingga setengah juta barel per hari, yang berkontribusi pada pengurangan stok tersebut. Kami melihat kilang meningkat lebih dari yang diperkirakan sekitar 400.000 barel per hari sehingga menghabiskan banyak minyak mentah. Dan ekspor naik sedikit," katanya.

Minyak juga mendapat dorongan setelah Federal Reserve AS menaikkan suku bunga pada Rabu (21/3) dan memperkirakan setidaknya dua kenaikan lagi untuk 2018.

"Di bagian belakang akhir pertemuan Fed, dolar semakin di bawah tekanan, dan itu akan bekerja sebagai korelasi terbalik dengan harga minyak mentah," kata Bob Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho di New York.

Pelemahan dolar terhadap sekeranjang mata uang lainnya membuat komoditi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, karena mereka menghabiskan lebih sedikit untuk membeli jumlah yang sama dari komoditas.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengatakan pada Rabu (21/3) bahwa para anggota dan sekutunya mencapai rekor kepatuhan pada Februari untuk kesepakatan mereka memangkas pasokan global, sehingga mengangkat pasar.

Sementara itu, kekhawatiran bahwa Amerika Serikat dapat menerapkan kembali sanksi terhadap Iran, juga membayangi pasar minyak.

Konsultasi energi FGE mengatakan sanksi baru AS terhadap Iran dapat menghasilkan penurunan 250.000 hingga 500.000 barel per hari dalam ekspor hingga akhir tahun, dibandingkan dengan ekspor minyak mentah sekitar 2,0 juta hingga 2,2 juta barel per hari sejak awal 2016, ketika sanksi dicabut.

"Meskipun Anda benar-benar melihat tanda-tanda bahwa pasar lemah pada sisi fisik, apakah Anda bersikap agresif ketika Anda memiliki potensi untuk sesuatu yang terjadi antara AS dan Iran?" Kekhawatiran "bearish" sebagian besar telah memicu melonjaknya produksi minyak mentah AS.

Data EIA pada Rabu (21/3), selain menunjukkan penarikan persediaan, juga menunjukkan bahwa produksi minyak mentah mingguan telah mencapai titik tertinggi sepanjang waktu.

"Sejauh ini, pasar sedikit mengabaikan peningkatan produksi," kata Ritterbusch.

"Kami sekarang memiliki produksi di atas 10,4 juta barel per hari dan akan terus meningkat, dan pasar pada akhirnya harus memperhitungkan itu," katanya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: