Usai berkunjung ke Kabupaten Kepulauan Mentawai, Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi masyarakat setempat yang dinilai cukup miris.
Ketika ia masuk ke pelosok daerah itu dan menjumpai banyak warga setempat yang mengalami stunting.
Hal itu diperparah oleh kondisi ekonomi yang cukup sulit sehingga taraf hidup masyarakat berada di bawah garis kemiskinan.
"Bayangkan saja ada satu pulau, kalau ada yang menangkap ikan hasilnya dibagi bersama, jual kopra harganya juga rendah, listrik tidak ada," ujarnya.
Saat ini, di Sumatera Barat masih ada tiga daerah menyandang status terdepan, tertinggal, dan terluar (3T) yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai, Pasaman Barat, dan Solok Selatan.
Salah satu temuan yang perlu menjadi perhatian pada daerah 3T tersebut, adalah kasus gizi buruk yang harus segera dituntaskan demi terciptanya generasi masa depan yang berkualitas.
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno mengakui perlu ditingkatkan sosialisasi tentang pola asuh yang benar kepada orang tua untuk mencegah kekurangan gizi kronis anak yang menyebabkan pertumbuhan badan tidak sesuai umur atau stunting.
Ia mengatakan pengetahuan mengenai pola asuh yang baik perlu diberikan kepada orang tua seperti memberikan anak makanan dengan berbagai macam asupan yang bergizi sehingga kecukupan gizi anak dapat terpenuhi.
Dalam upaya mengatasi stunting di Sumbar, ia menyampaikan bahwa Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat merupakan daerah dengan prevalensi stunting yang cukup tinggi sehingga pihaknya memelopori gerakan sejuta jamban pada dua kabupaten tersebut.
Namun, karena APBD 2018 telah selesai ditetapkan, maka pelaksanaannya hanya bisa dilakukan setelah APBD Perubahan 2018.
"Kita coba sharing anggaran dengan dua kabupaten itu dan memanfaatkan dana dari sumber lain seperti CSR dan Baznas," kata dia.
Pada sisi lain, salah satu upaya mencegah kasus gizi buruk yang paling mudah dengan pemberian air susu ibu (ASI) ekslusif kepada bayi baru lahir.
Akan tetapi, kendala yang dijumpai adalah masih minimnya pengetahuan calon ibu tentang ASI dan bagaimana cara pemberian yang tepat.
Pertanyaan yang sering mengemuka di kalangan para ibu muda adalah bagaimana kalau seandainya air susu sedikit keluar saat pertama kali melahirkan, sementara bayi terus menangis.
Konselor Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Sumbar Maharani Permata menceritakan persoalan yang banyak dikeluhkan ibu menyusui adalah air susu yang sedikit dan belum keluar pada hari pertama dan kedua menyusui.
Pada kondisi seperti itu, dia mengakui bahwa pada akhirnya banyak mereka yang mulai berpikir memberikan susu formula untuk memenuhi kebutuhan bayi.
Menurut dia, ibu harus sabar dan diberikan dukungan karena secara bertahap ASI akan keluar dan dapat memenuhi kebutuhan bayi.
Kondisi kejiwaan ibu juga akan menentukan banyaknya air susu dan ketika ibu stres maka ASI akan sedikit, sebaliknya saat bahagia akan membuat ASI lebih banyak Tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ASI ekslusif juga berasal dari kalangan tenaga kesehatan yang belum sepenuhnya mendorong terwujudnya hal itu.
Pernah dijumpai produsen susu formula yang bekerja sama dengan tenaga kesehatan untuk mempromosikan produknya kepada ibu yang baru melahirkan.
Ia juga pernah menyaksikan bayi yang baru lahir langsung diberikan susu formula padahal harus ada izin tertulis dari orang tuanya.
Tidak jarang juga dijumpai ibu yang baru melahirkan diberikan bingkisan perlengkapan bayi, berisi susu formula yang akan membuat mereka berpikir bahwa hal itu diberikan tenaga kesehatan sehingga boleh digunakan.
Sejalan dengan itu, Ahli Spesialis Anak dr Utami Roesli, Sp.A. mengemukakan kegagalan menyusui dan pemberian ASI ekslusif di Tanah Air selama ini lebih banyak disebabkan minimnya informasi dan pengetahuan ibu.
Minimnya informasi tentang ASI ekslusif bukan hanya pada ibu, akan tetapi juga suami, keluarga, hingga tenaga kesehatan sehingga angka ASI ekslusif di Indonesia masih rendah.
Oleh karena informasi tentang ASI ekslusif belum banyak diketahui, akibatnya dukungan untuk ibu juga kurang terutama dari suami, keluarga, lingkungan, dan sarana kesehatan.
"Misalnya ketika seorang ibu bekerja, tempat kerjanya tidak mendukung fasilitas pemberian ASI sehingga jangankan hingga dua tahun, enam bulan saja masih sulit," ujar Utami yang merupakan pendiri Sentra Laktasi Indonesia.
Turunkan Kemiskinan Pemberian ASI oleh ibu akan membantu menurunkan angka kemiskinan, khususnya bagi keluarga yang kurang mampu.
Berdasarkan penghitungan, ucapnya, jika ada ibu yang memberikan susu formula standar kepada bayi maka dalam sebulan harus mengeluarkan biaya minimal Rp500 ribu hingga Rp600 ribu.
"Ini tentu memberatkan apalagi bagi yang kurang mampu," kata Utami.
Ia menghitung jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membeli susu akan menyita pengeluaran rumah tangga apalagi bagi keluarga yang penghasilan masih di bawah Rp1 juta.
Oleh sebab itu, lebih baik jika ibu langsung memberikan ASI sehingga tidak perlu keluar uang untuk membeli susu, sedangkan pengeluaran dapat dihemat dan uangnya dipakai untuk kebutuhan lain.
Jika yang diberikan kepada bayi adalah susu formula premium maka tidak kurang dari Rp2 juta harus dikeluarkan setiap bulan.
Utami menghitung total biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk membeli susu formula untuk anak usia hingga enam bulan mencapai Rp9,8 juta.
Hingga anak usia satu tahun pengeluaran beli susu formula akan mencapai Rp20,4 juta, sampai dua tahun akan keluar uang Rp43 juta hingga Rp134, 4 juta.
Dukungan Keluarga Persoalan lain yang kerap dijumpai dalam pemberian ASI ekslusif adalah kurangnya dukungan kepada ibu menyusui, terutama dari keluarga terdekat Menurut Ketua AIMI Sumbar Ria Oktorina untuk dapat mewujudkan ASI ekslusif harus ada dukungan dari keluarga terdekat, seperti suami hingga orang tua, sehingga motivasi ibu menyusui menjadi tinggi.
Terkadang ibu yang menyusui karena tidak ada dukungan suami merasa berjuang sendiri dan akhirnya mudah menyerah sehingga beralih menggunakan susu formula.
Oleh sebab itu, agar berhasil menyusui calon ibu harus mencari atau menciptakan lingkungan yang akan mendukung pemberian ASI mulai dari suami, orang tua, mertua, keluarga besar, teman, hingga rekan kerja.
Jika ibu mengalami kendala dalam menyusui bayi maka orang terdekat akan memberi dukungan dan motivasi.
Selama ini, yang terjadi jika ibu mempunyai kendala, akhirnya memilih untuk memberikan bayi susu formula.
Semua ibu yang melahirkan dikodratkan bisa menyusui dan hanya satu dari 1.000 ibu yang tidak bisa karena ada indikasi medis.
Namun, banyak yang tidak tahu serta tidak mendapatkan dukungan dari orang terdekat sehingga pesimistis untuk menyusui bayi setelah melahirkan.
Makin banyak pihak mendapatkan informasi tentang pentingnya standar emas makanan bayi dimulai dari Inisiasi Menyusu Dini, pemberian ASI eksklusif, MPASI Rumahan mulai enam bulan, dan ASI terus sampai dua tahun atau lebih merupakan salah satu langkah mencegah gizi buruk.
Semoga perhatian terhadap isu pentingnya menyusui tidak terbatas di kalangan tertentu, misal sektor kesehatan saja, namun menjadi prioritas banyak pihak, tidak hanya pemerintah, akan tetapi juga masyarakat dan sektor swasta.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Gito Adiputro Wiratno
Tag Terkait: