Ancaman potensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China menjadi tekanan tersendiri bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemerintah dinilai perlu mewaspadai kinerja sejumlah sektor, terutama komoditas, baik pertambangan maupun perkebunan.
Analis PT Danareksa Sekuritas, Lucky Bayu Purnomo, menilai dua sektor komoditas itu perlu dicermati mengingat AS dan China menjadi tujuan ekspor produk komoditas nasional.
“Baik AS maupun China merupakan potential buyer dari hasil sumber daya alam Indonesia,” katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (20/4/2018).
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia pada Januari–Maret 2018 mencapai US$44,27 miliar, naik 8,78% dari periode yang sama 2017, sedangkan ekspor nonmigas mencapai US$40,21 miliar, naik 9,53%. Dari jumlah ekspor nonmigas itu, China di urutan pertama negara tujuan ekspor, disusul AS di tempat kedua.
Selain potensi perang dagang, tekanan lain ialah peluang kenaikan suku bunga AS atau Fed Funds Rate (FFR) dan tren menguatnya harga minyak dunia. The Fed, bank sentral AS, sudah menaikkan FFR sebesar 25 basis poin pada 22 Maret lalu dan menyiratkan dua kali penaikan tahun ini.
Dari dalam negeri, Lucky menilai angka inflasi akan menjadi sorotan setelah kenaikan harga BBM nonsubsidi. Menurut Lucky, pemerintah perlu mengantisipasi potensi inflasi dengan memperbanyak jumlah barang dan jasa, memperhatikan dinamika supply demand dengan menetapkan harga maksimum. Pemerintah perlu menambah hasil produksi dengan memberi subsidi dan premi atau membuat peraturan yang mendorong pengusaha lebih produktif, selain juga menjaga kestabilan tingkat upah.
Kabar baiknya, pada 13 April 2018, lembaga pemeringkat global Moody’s Investor Service menaikkan peringkat Sovereign Credit Rating (SCR) Indonesia dari Baa3 dengan outlook positif menjadi Baa2 dengan outlook stabil.
“Ini prestasi bagi kinerja pemerintah di tengah tantangan ekonomi lintas wilayah, kenaikan agresif FFR, tren naiknya harga minyak, tren menguatnya dolar terhadap rupiah, dan sentimen perang dagang,” imbuh Lucky.
Moody’s juga memperkirakan rasio utang pemerintah Indonesia akan berkísar 30% dari PDB dalam beberapa tahun mendatang. Karena itu, Lucky menegaskan bahwa tata kelola utang yang baik yang telah dijalankan oleh Pemerintah Indonesia akan memberikan manfaat terhadap cita cita produktivitas dan ekonomis.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu