Penggunaan arbitrase (wasit, juru pisah) semakin marak dan menjadi keniscayaan bagi para pelaku bisnis dalam menyelesaikan sengketa bisnis. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah pendaftaran perkara di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Pada tahun 1977—1986, hanya terdapat 27 perkara yang didaftarkan, kontras dengan yang ditemukan pada tahun 2007—2016 yang sebanyak 728 perkara. Artinya, dalam waktu empat dekade BANI berdiri terjadi peningkatan perkara nyaris 40 kali lipat. Ini sebuah jumlah yang cukup fantastis.
Kegandrungan publik akan arbitrase memang beralasan. Selain untuk menghindari perkelahian, ongkos, dan biaya sidang, arbitrase juga secara umum lebih terjangkau.
Saat ini, arbitrase tidak melulu hanya mengenai arbitrase institusional, tetapi juga terdapat arbitrase ad hoc sebagai arbitrase yang khusus dibentuk untuk suatu sengketa tertentu dan didasarkan atas perjanjian antara para pihak.
Hal ini akan menghindarkan masyarakat dari monopoli institusi arbitrase tertentu saja sehingga biaya berperkara dapat tetap terjaga. Selain itu, adanya arbitrase ad hoc dapat menekan biaya lebih rendah karena tidak terikat dengan aturan institusi dan murni berdasarkan kesepakatan dari para pihak yang berperkara, termasuk soal bayaran arbiter yang dipilih.
Sisi kultur hukum dan pola pikir masyarakat atas penyelesaian sengketa melalui arbitrase itu sendiri semakin berbenah. Untuk itu, arbitrase berjalan maksimal seiring adanya itikad baik dari para pihak yang benar-benar ingin mencari keadilan dan bukan sekadar kemenangan.
Apabila para pihak yang berperkara dalam arbitrase konsisten untuk menghormati dan menepati komitmen bahwa putusan arbitrase akan memiliki kekuatan yang final and binding, praanggapan bahwa arbitrase relatif lebih murah dan cepat dari pengadilan adalah benar adanya.
Di satu sisi, opsi memutus perkara lewat pengadilan juga semakin tidak diminati karena selain memakan waktu dan biaya yang tidak lebih murah, mereka telah terdisrupsi. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, Sudjito Atmoredjo, menyatakan disrupsi atau chaotic situation di bidang hukum telah lama terjadi di negeri ini. Hal itu terjadi sejak hukum lahir sebagai resultan transaksi bisnis.
Menurutnya, saat ini ada kecenderungan mengubah-ubah hukum yang dipandang kurang fasilitatif terhadap kepentingan politik dan bisnis. Misal, melegalkan tambahan dana untuk pilkada melalui perubahan anggaran daerah maupun pusat.
Pada situasi sama, pebisnis mendesakkan kepentingannya agar investasi dipermudah melalui perubahan hukum pengadaan tanah, penguasaan pulau-pulau kecil dan sumber daya laut, tata ruang, reklamasi, penghentian penenggelaman kapal asing pencuri ikan, dan sebagainya. Perubahan-perubahan hukum dan kebijakan berpihak kepada elite-elite politik dan pebisnis. Hal ini tentu memarginalkan komponen bangsa lapisan grass root.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu