Gangguan kesehatan tubuh bisa datang kapan saja. Namun, biasanya seseorang baru sadar kesehatannya terganggu ketika sudah jatuh sakit. Padahal, sebelum sakit itu datang selalu diawali dengan gejala yang seharusnya dapat segera dicegah.
Ketidaktahuan akan gejala penyakit tertentu yang membuatt seseorang tidak dapat menghindari penyakit. Bahkan ketika penyakit itu datang, masih banyak pula orang yang tidak mengetahui obat apa yang harus dikonsumsi. Di sinilah, pentingnya berkonsultasi dengan dokter. Ironisnya, banyak orang masih enggan datang ke dokter sebelum penyakitnya benar-benar mengganggu aktivitasnya.
Di zaman digital ini, seharusnya tidak ada alasan lagi bagi seseorang untuk enggan berhubungan dengan dokter. Sebab cukup melalui aplikasi smartphone, saat ini sudah dapat berkonsultasi dengan dokter. Salah satu aplikasi itu bernama Halodoc. Sebuah aplikasi yang dikembangkan oleh startup yang dikomandoi oleh Jonathan Sudharta.
Jonathan mengungkapkan, Halodoc adalah aplikasi yang menghubungkan praktisi kesehatan, seperti dokter, apotek, dan laboratorium langsung ke tangan pasien. Dengan aplikasi ini, seseorang bisa mencari dokter untuk berkonsultasi mengenai kondisi kesehatan yang dialami. Selanjutnya, setelah dokter mendiagnosis penyakit atau gejala yang diderita oleh pasien, akan diberikan resep obat yang sesuai. Melalui aplikasi ini, seseorang juga bisa langsung membeli obat sesuai resep yang diterima.
Ada dua jenis konsultasi yang dilakukan oleh pasien melalui Halodoc. Pertama, yang bersifat emergensi, kasus ini 68% dapat diselesaikan dengan anamnese atau tindakan medis digital. Kasus ini misalnya, kulit merah dan mata bengkak, cukup dengan melihat kondisi pasien, dokter sudah dapat mengetahui gejala atau penyakit apa yang diderita oleh pasien. Kedua, adalah pasien yang sudah pernah bertemu dokter sehingga ia tinggal follow up dari kasus yang pernah ditangani.
Di dalam aplikasi Halodoc, Jonathan mengklaim saat ini ada 20 ribu dokter dari seluruh Indonesia dengan beragam spesialisasi yang tergabung. Di Indonesia terdapat 113 jenis dokter spesialis dan 50%- nya dapat ditemui di aplikasi Halodoc, seperti spesialis kulit, mata, anak, hingga jantung. Dari jumlah itu, sekitar 200 dokter dapat dihubungi selama 24 jam, sebagiannya lagi dapat dihubungi pada waktu tertentu saja atau ketika dokter yang bersangkutan sedang tidak praktik.
Untuk menjamin kredibilitas dokter yang tergabung dalam Halodoc, dokter harus memenuhi syarat, seperti surat kelulusan dokter, Surat Tanda Registrasi (STR), dan Surat Izin Praktik (SIP). Dengan melengkapi syarat-syarat tersebut, dokter dapat bergabung secara daring (online) tanpa bertemu dengan tim Halodoc. Untuk memastikan kredibilitas dokter yang mendaftar, Halodoc juga bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
“Chief medical officer kami juga seorang dokter yang tergabung dalam banyak asosiasi, baik itu IDI, KKI, dan lain-lain sehingga kami juga tahu beberapa dokter-dokternya,” katanya.
Andalkan Konsultasi Video Call
Jonathan sendiri mengaku sebelum membuat startup Halodoc, dia adalah seorang medical representative atau sales promotion untuk perusahaan farmasi. Setelah bekerja selama 14 tahun, dia banyak berhubungan dengan para dokter. Dia juga punya lebih dari 4000 kontak dokter di handphone-nya. Selama itu pula, dia sering ditanya oleh teman-teman dekatnya yang menderita sakit untuk dicarikan obat yang cocok.
Karena pengalamannya itu, pria yang juga pernah bercitacita menjadi dokter ini, berpikir untuk membuat sistem yang dapat membantu semua orang. Sebab menurutnya, saat ini di Indonesia hanya ada 3 dokter per 10 ribu pasien, sementara untuk dokter jantung hanya ada 600, yang berarti 1 dokter untuk 400 ribu pasien.
“Sementara 80% dokter jantung ada di Jakarta, terus bagaimana yang di kota-kota kecil? Jadi apa yang bisa saya bantu, ya dengan aplikasi ini untuk memberikan kemudahan dalam akses kesehatan,” harap Jonathan.
Akhirnya, pada April 2016 Jonathan berhasil membuat sistem yang dimaksud dan meluncurkannya dengan nama Halodoc. Saat aplikasi ini diluncurkan, menurutnya health tech masih sepi. Halodoc menjadi salah satu yang pertama. Meskipun tidak berani mengklaim sebagai yang pertama, menurutnya Halodoc memiliki sistem yang lebih canggih.
Dalam menghubungkan pasien dan dokter, setiap aplikasi health tech memiliki cara yang berbeda-beda. Ada yang dipertemukan secara forum; ada yang one on one. Namun, yang bisa video call hanya Halodoc. Kelebihan lainnya, Halodoc bisa langsung mengintervensi obat apa yang dibutuhkan dan langsung dapat dikirim kurang dari 1 jam.
Sebab selain menghubungkan dengan dokter, Halodoc juga terhubung dengan 1000 apotek di seluruh Indonesia. Ketika dokter merekomendasikan sebuah obat, aplikasi langsung mencarikan obat yang dimaksud di apotek terdekat dengan pasien. Kecepatan pengiriman juga berkat dukungan Go-Jek yang sudah menjadi mitra kerja sama Halodoc.
“Ketika pasien pesan obat, sistem kami akan mencarikannya di apotek terdekat dengan harga paling murah,” ujar Jonathan.
Satu lagi layanan yang diberikan Halodoc adalah layanan laboratorium yang bekerja sama dengan Prodia. Ketika memesan layanan ini, petugas akan datang kemudian membawa sampel darah pasien. Sampel darah akan diperiksa di laboratorium dan hasilnya akan dikirimkan ke smartphone pasien. Hasil tes laboratorium juga diteruskan ke dokter sehingga dokter bisa menentukan tindakan yang harus diambil selanjutnya.
Melayani Orang Sakit
Hingga saat ini, Halodoc telah bekerja sama dengan beberapa startup lain yang juga sebagai investornya, seperti Go-Jek dan Blibli, Clermont, dan NSI Ventures. Total pendanaan yang diterima mencapai US$13 juta atau sekitar Rp170 miliar. Pendanaan tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas aplikasi.
Sejak berdiri, menurut Jonathan, Halodoc telah mengalami pertumbuhan lebih dari 100 kali. Dilihat dari jumlah penggunanya, saat ini sudah mencapai lebih dari 1 juta orang. Tahun ini, Jonathan memiliki target untuk terus meningkatkan jumlah penggunanya.
Sebagai perusahaan startup, Jonathan mengaku tidak berambisi untuk mengejar status Unicorn. Baginya itu hanya status, namun tidak mencerminkan revenue. Dia mencontohkan aplikasi messenger Whatsapp, saat ini valuasinya sudah US$19 miliar, tetapi revenue-nya menurutnya nol.
Yang terpenting, menurut Jonathan, adalah bagaimana menjadi aplikasi yang dapat menyelesaikan permasalahan lebih banyak pasien dengan cara mengimplikasi akses kesehatan. Sebab entrepreneurship yang dijalankan melalui model bisnis ini, menurutnya juga dekat dengan socialpreneurship mengingat banyak menyelesaikan persoalan di masyarakat.
Persoalan pasien itu sangat luas, semua orang memiliki kemungkinan sakit, dari yang ringan sampai berat. Persoalan juga datang dari kualitas dokter, waktu tunggu, obat, dan waktu perjalanan. Jadi, yang coba diselesaikan Halodoc adalah bagaimana menggunakan teknologi ini untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan melalui berbagai layanan, seperti menghubungkan dengan dokter, menghubungkan dengan apotek, dan laboratorium.
Untuk melayani orang sakit di Indonesia, yang saat ini jumlahnya juga masih sangat besar, dengan layanan yang semakin mudah, siapa pun bisa menjadi pasien. Target pertumbuhan pengguna aplikasi memang masih relatif, tetapi kemungkinan bisa sangat besar. Semakin banyaknya pengguna aplikasi akan semakin banyak pula revenue yang didapatkan oleh Halodoc.
Revenue Halodoc sendiri berasal dari komisi dokter yang memberlakukan tarif dalam konsultasi. Selain itu, ada juga dari penjualan obat apotek yang dibeli melalui aplikasi. Namun, Halodoc tidak memungut biaya ketika dokter tidak memberikan tarif konsultasi, dan obat yang dijual selalu lebih murah. Komisi yang diterima Halodoc bervariasi sesuai dengan tarif yang dikenakan oleh dokter atau harga obat yang dijual oleh apotek.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: