Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bank Mandiri: Top of Mind Konglomerat

Bank Mandiri: Top of Mind Konglomerat Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bank Mandiri menyetel ulang core business perseroan dari universal banking menjadi wholesale banking. Tiga agenda besar disiapkan Perseroan untuk menjadi bank top of mind pilihan konglomerat di Indonesia. Dari segi produk dan layanan, Bank Mandiri mengeklaim sudah melewati DBS Bank dan CIMB Bank.

Ada yang menarik perhatian wartawan saat membaca laporan keuangan Bank Mandiri per akhir 2016. Laba bersih bank BUMN yang mengeklaim sebagai bank pemilik aset terbesar di Indonesia itu cuma Rp13,8 triliun, tergerus 32,1% dari laba bersih 2015 yang sebesar Rp20,3 triliun. Usut punya usut, ternyata terjun bebasnya laba Mandiri dikontribusi oleh melambungnya non-performing loan (NPL) yang menembus 4%. Jatuhnya harga komoditas global pun menjadi alibi. Pasalnya, sejumlah debitur yang mengandalkan natural resources seperti batu bara, mengalami penurunan kinerja.

Identifikasi permasalahan pun berlanjut. Ternyata, sebagian NPL tersebut berasal dari debitur tidak kooperatif. Ada lima debitur yang disebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam “Ikhtisar Hasil Pemeriksaan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk semester II 2017” yang berpotensi menimbulkan kerugian hingga Rp2,94 triliun. Inisialnya, PT TAB, PT AMBE, PT RA, PT CSI, dan PT PI. BPK menyebut, ada kelemahan dalam penyaluran kredit ke lima debitur itu, yakni terkait risk management.

Chief Executive Officer (CEO) Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo, menegaskan bahwa manajemen Perseroan tidak mau terlena dalam urusan non-performing loan (NPL). Satu demi satu NPL dibereskan. Untuk debitur tidak kooperatif, Tiko bilang, pihaknya sudah bekerja sama dengan pihak Kejaksaan Agung untuk mendapatkan penyelesaian yang optimal serta memberikan warning kepada debitur NPL lain agar jangan macam-macam.

Menata Fokus 

Di sisi lain, manajemen juga me-review kembali roadmap perusahaan. Menurut Tiko, Bank Mandiri sudah menyiapkan tiga step reformasi di internal perusahaan, yakni roadmap 2005—2010, 2010—2015, dan 2015—2020. Kejadian pada 2016 membuat Bank Mandiri memutuskan  untuk ‘mundur’ (retreat) sesaat guna mengevaluasi kelemahan-kelamahan di internal perusahaan. Misalnya, kelemahan risk management kredit yang bikin NPL tinggi dan menggerus laba, serta fokus perusahaan yang ketika itu mengambil posisi sebagai universal banking.

Dari hasil retreat perusahaan tadi, dirumuskan bahwa core business Bank Mandiri adalah corporate bank. Inilah yang menjadi anchor perusahaan ke depan. Meski pertumbuhan di bisnis wholesale banking ini diperkirakan tidak terlalu besar, namun untuk jangka pendek dua sampai tiga tahun ke depan masih bisa menghasilkan cuan yang memadai. Berfokus di segmen korporasi, Tiko memperluas jangkauan layanan dengan produk keuangan yang semakin kompleks. Misalnya, pembiayaan akuisisi atau merger perusahaan yang selama ini hanya dikuasai bank-bank asing, seperti Deutche Bank, Citibank, Credit Suisse, dan JP Morgan Chase.

Pada 16 April 2018, Bank Mandiri menjalin kemitraan dengan private bank asal Swiss, Lombard Odier, guna melayani nasabah prioritas yang sebagian merupakan owner korporasi besar Indonesia. Melalui kerja sama ini, Bank Mandiri akan menawarkan layanan one stop service, seperti bisnis wealth management bagi kaum berduit tebal untuk berinvestasi offshore sebagai diversifikasi portofolio. Saat ini, Wealth Management Group Bank Mandiri mengelola lebih dari 51.400 nasabah dengan total dana kelolaan (fund under management) sebesar Rp192 triliun. Adapun untuk segmen private, Bank Mandiri mengelola 1.762 nasabah utama dengan total dana kelolaan Rp52 triliun.

Selain itu, Bank Mandiri mulai masuk ke pembiayaan cross border transasction. Menurut Direktur Corporate Bank Mandiri, Royke Tumilaar, pembiayaan cross border ini terbilang menantang karena dihadapkan pada struktur pembiayaan yang kompleks, melibatkan beberapa negara dan regulasi internasional yang ketat. Adalah PT Pertamina (Persero) Tbk yang menjadi customer Bank Mandiri terkait cross border transaction dengan nilai pinjaman US$100 juta atau Rp1,4 triliun dari total US$600 juta. Bank Mandiri bertindak sebagai Mandated Lead Arranger yang closing ceremony pinjaman dilakukan di Hong Kong, awal Februari 2018.

“Bank Mandir mengarah menjadi financial advisor bagi nasabah korporasi,” ujar Royke Tumilaar. Kiprah Bank Mandiri ini dalam bingkai menarik kepercayaan Pertamina guna mendukung bisnis globalnya dengan produk layanan dan perbankan berkelas internasional. Hal ini dimaksudkan untuk membantu meningkatkan efisiensi dan pengelolaan likuiditas Pertamina, seperti cash card, transaksi valas, forex harian, transaksi derivatif, tripartite treasury, dan lainnya. Begitu pula, Bank Mandiri melakukan pengembangan sistem bersama dalam transaksi harian, seperti corporate payable, autocollection, dan lainnya. 

Selain menggarap segmen korporasi, manajemen Bank Mandiri juga melihat peluang baru dan menjanjikan dengan menggarap karyawan dari nasabah korporasi. Ambil contoh pada case Pertamina tadi, selain menggarap layanan perbankan korporasi, Perseroan juga menyasar karyawan BUMN migas ini menjadi nasabah mereka dengan layanan lengkap mulai dari kredit konsumsi, KPR, KPM, investasi (wealth management), serta asuransi jiwa dan kesehatan. Bank Mandiri akan menjadi bank at work sehingga karyawan Pertamina tidak perlu berkunjung ke kantor cabang Mandiri untuk mengurus transaksi perbankan. Untuk maksud ini, semua anak usaha Bank Mandiri dilibatkan, seperti Mandiri Sekuritas, AXA Mandiri, dan Mandiri Tunas Finance. “Inilah new core business Bank Mandiri ke depannya,” ujar Tiko. 

Tiko pun tidak menampik bahwa masa depan bisnis perbankan ada di digital banking. Dari catatan manajemen Bank Mandiri, sekitar tujuh persen saja transaksi perbankan yang masih dilakukan melalui kantor cabang Perseroan pada 2018. Pada 2020, transaksi perbankan melalui kantor cabang ditaksir tinggal tiga persen saja. Adapun transaksi digital Perseroan berkisar 15—18 juta per hari atau 93% dari total transaksi. Untuk itulah, Perseroan gencar memperbaharui sistem teknologi perbankan dan keamanannya. Bank pun harus mampu mengimbangi perkembangan perusahaan fintech yang mulai merambah ke sistem pembayaran yang selama ini digarap perbankan. Kalau hal ini diabaikan, bukan tidak mungkin jasa perbankan akan ditinggalkan customer. Perseroan pun mengalokasikan belanja modal khusus IT sebesar Rp1 triliun rerata setiap tahun.

Bertarung Jadi The Best Bank

Posisi Bank Mandiri di belantara perbankan nasional menempati posisi teratas bila merujuk dua indikator, yakni aset dan alokasi kredit secara umum dan korporasi. Posisi aset Bank Mandiri per 2017 sebesar Rp1.124 triliun, di atas BRI (Rp1.076 triliun), BCA (Rp739 triliun), dan BNI (Rp709,3 triliun). Begitu pula dari sisi kredit yang disalurkan per 2017 sebesar Rp729 triliun, sedangkan BRI (Rp643 triliun), BCA (Rp415 triliun), dan BNI (Rp150 triliun). Sementara, kucuran kredit korporasi Bank Mandiri sebesar Rp248 triliun, BNI dan BCA masing-masing Rp188 triliun dan Rp177 triliun. Dalam hal perolehan laba bersih, Bank Mandiri membukukan Rp20,6 triliun pada 2017, di bawah BRI sebesar Rp29 triliun dan BCA Rp23,3 triliun. 

Merujuk laporan Seasia bertajuk “Top 10 Largest Bank in The Whole region of Southeast Asia 2017”, posisi Bank Mandiri ada di urutan ke-6 dengan market value sebesar US$24,1 miliar. Posisi pertama diduduki Bank DBS Group dengan market value US$34,4 miliar, BCA di posisi kedua dengan market value US$32,1 miliar, BRI di posisi kelima dengan market value US$24,2 miliar. Untuk memburu visi Bank Mandiri menjadi Indonesia’s Best ASEAN’s Prominent pada 2020, Perseroan mematok lonjakan market value senilai US$55 miliar. Dengan penajaman fokus, Bank Mandiri bermaksud mengejar ketertinggalan dalam perolehan laba dan lonjakan market value di pasar modal. 

Meski dikenal sebagai bank “wong cilik” atau mengambil segmen pembiayaan usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM), BRI pun menyadari bahwa battlefield di bisnis bank, khususnya wholesale di mana perseroan juga punya alokasinya, terbilang sengit meski hanya diperebutkan 10 bank besar saja. Menurut Suprajarto, sampai 2022 perseroan akan fokus pada pembiayaan UMKM menjadi 80% dari total kredit perseroan. Namun, untuk segmen korporasi akan diarahkan ke basis wholesale transaction banking dengan mengumpulkan dana murah guna mengisi fee based income. Selain itu, Perseroan juga akan membangun integrated financial solution dengan melibatkan anak-anak usaha BRI. 

Sementara itu, BNI akan menempuh berbagai upaya agar menjadi “Lembaga Keuangan Yang Unggul dalam Layanan dan Kinerja”. Sejak 2017, Perseroan mencanangkan program BNI Digination, yakni program membantu startup di bidang keuangan dan menumbuhkan bisnis digital melalui produk-produk digital, seperti UnikQu, BNI Kredit Digital (digital loan). Selain itu, BNI membaca kebutuhan customer wholesale yang semakin kompleks dengan menjadi lembaga keuangan yang terintegrasi. Untuk maksud itu, Perseroan mengakuisisi perusahaan asset management dimaksudkan untuk mengelola kualitas kredit, mendongkrak rating bank dengan komposisi portofolio lebih baik. “Selain juga untuk meningkatkan image bank,” ujar CEO BNI, Achmad Baquini.

CEO BCA, Jahja Setiaatmadja, mengaku tidak terlalu ambisius bahwa BCA harus jadi jawara di dalam negeri atau ASEAN. BCA pun tidak menganggap ekspansi pembukaan kantor cabang di negeri jiran di ASEAN sebagai prioritas. Pasalnya, BCA lebih fokus ke pasar dalam negeri yang belum optimal digarap. Bagi dia, hakikat bank yakni sebagai financial intermediary dan payment system. Ia berpendapat, persaingan di bisnis wholesale banking—yang sampai 10 bank saja— tidaklah sesengit di segmen UMKM yang diperebutkan lebih dari 118 bank. “Pemegang saham BCA tidak peduli Perseroran masuk ranking berapa di dalam dan luar negeri. Bagi mereka yang penting profitable, NPL rendah, dan fungsi sistem pembayaran berjalan lancar,” ujar dia.

Menurut Paul Sutaryono, pengamat perbankan yang mantan eksekutif BNI, Persoalan terbesar di industri perbankan di Indonesia, terkait belum efisien di operasional perbankan. Hal ini terlihat dengan jelas dari indikator biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) yang rerata di level 83,4% untuk semua kelompok bank mulai dari BUKU I— IV. Salah satu sumber ketidakefisienan itu ada pada pos suku bunga deposito yang mendongkrak biaya dana (cost of fund). Padahal untuk bisa bertarung di pasar ASEAN, efisiensi menjadi kunci. Bandingkan BOPO rerata perbankan di ASEAN berada di level 40%—60%. “Tantangan perbankan di dalam negeri menaikkan tingkat efisiensi agar mampu bersaing di kawasan regional,” ujar dia.

Tiko me-resume bahwa battlefield di bisnis wholesale bank di dalam dan luar negeri lebih ke produk layanan perbankan yang kompleks, seperti merger and acquisition, project financing, cross border transaction, dan wealth management di bursa luar negeri dan lainnya. Jadi, pertarungan sesungguhnya lebih ke expertise atau knowledge dari SDM masing-masing bank. Di sinilah Tiko menaruh perhatian serius dengan menyiapkan kader-kader muda potensial untuk menguasai sepak-terjang (expertise) sebagai banker wholesale. Kini, dengan berbagai langkah perbaikan yang dilakukan manajemen Perseroan, Bank Mandiri sudah masuk kategori Top of Mind customer-nya— khususnya konglomerat di Indonesia. Hampir semua korporasi papan atas jadi customer Perseroan. Bahkan, PT Astra International Tbk yang sedianya dilayani bank asal Jepang, kini menyerahkan urusan pembiayaan ke Bank Mandiri. Itu terjadi ketika refinancing tol Cipali dikelola PT Astra Infra.

“Kalau di ASEAN semestinya (layanan-red) corporate bank dari Bank Mandiri sudah menyamai DBS dan CIMB atau bahkan sudah di atas sedikit,” ujar Tiko dengan nada penuh keyakinan diri.  

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: