Revolusi Industri 4.0 dan Jobless Economy
Oleh: Yuswohady, Managing Partner, Inventure
Awal April lalu, Kementerian Perindustrian meluncurkan inisiatif Making Indonesia 4.0, sebuah roadmap yang diharapkan mampu mengantarkan bangsa Indonesia sukses menghadapi Revolusi Industri 4.0.
Apa itu Revolusi Industri 4.0? Tak lain adalah transformasi industri yang digerakkan oleh teknologi-teknologi abad 21, seperti machine learning, artificial intelligence, internet of things, hingga 3D printing. World Economic Forum (WEF) mengidentifikasi ada 21 teknologi yang akan menggerakkan Revolusi Industri 4.0 dan teknologi-teknologi tersebut akan mencapai critical mass dalam kurun 10 tahun mendatang.
Menurut Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, implementasi Making Indonesia 4.0 diyakini akan mampu mendorong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil sebesar 1%—2% per tahun. Pertumbuhan PDB per tahun akan naik, dari baseline sebesar 5% menjadi 6%—7% pada periode tahun 2018—2030.
Inisiatif tersebut juga akan membawa Indonesia menjadi 10 besar ekonomi di tahun 2030; mengembalikan angka net export industri 10%; menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak 7—19 juta; serta meningkatkan produktivitas tenaga kerja hingga dua kali lipat.
Revolusi Industri 4.0 memang menjanjikan output dan produktivitas yang luar biasa. Namun di balik itu, ia juga menyisakan masalah yang sangat pelik, yaitu semakin tergantikannya tenaga manusia oleh robot/algoritma melalui automasi massal. Revolusi Industri 4.0 diprediksi akan menciptakan apa yang disebut jobless economy.
Komputer Watson
15 Februari 2011 adalah hari yang bersejarah bagi peradaban umat manusia. Hari itu, untuk pertama kalinya komputer pintar Watson milik International Business Machines Corporation (IBM) mengalahkan manusia dalam adu kepintaran di acara kuis televisi Jeopardy. Watson mengalahkan Ken Jennings dan Brad Rutter yang merupakan pemegang rekor nilai tertinggi dalam sejarah kuis Jeopardy.
Kemenangan ini bersejarah karena pertanyaan yang diajukan di dalam ajang ini bersifat pertanyaan terbuka (openended question). Untuk memenangkannya, komputer Watson harus memiliki pengetahuan umum dalam berbagai bidang yang praktis tak terbatas mulai dari sains, sejarah, film, sastra, geografi, hingga gosip selebritas. Dalam kuis ini, si penanya memberikan clue tertentu yang akan membantu peserta dalam menemukan jawaban.
Memang 7 tahun sebelumnya, IBM pernah menciptakan komputer serupa, Deep Blue, yang berhasil mengalahkan Garry Kasparov juara dunia catur kala itu. Namun, kemampuan Deep Blue dan Watson sama sekali berbeda. Kenapa? Permainan catur memiliki aturan main tertentu yang bisa dipetakan polanya oleh komputer dengan menggunakan pemrograman tertentu. Sementara, pertanyaan yang diajukan ke Watson di acara Jeopardy bersifat terbuka tanpa ada pola apa pun.
Inilah kehebatan teknologi Industri 4.0, seperti machine learning dan artificial intelligence yang memungkinkan mesin bisa berpikir dan belajar secara mandiri. Teknologi ini tak hanya menggantikan pekerjaan manusia yang bersifat repetitif, tetapi juga pekerjaan-pekerjaan yang bersifat kognitif dan tak berpola.
Revolusi Algoritma
Kemenangan Watson atas manusia di kuis Jeopardy menandai sebuah era supremasi robot atas manusia: robot yang digerakkan oleh algoritma. Algoritma pula yang menjadi jantung dari produk/layanan terobosan, seperti autonomous car (self-driving car), 3D printing (distributed fabrication), drone delivery service, atau automasi retail, seperti layanan Amazon Go.
Seluruh terobosan ini membawa konsekuensi menyedihkan berupa pengambilalihan pekerjaan manusia secara massive. Kita bakal tak butuh lagi sopir, kurir, buruh pabrik, atau petugas kasir. Welcome to the jobless world.
Kini IBM menggunakan kepintaran Watson untuk diterapkan di bidang-bidang lain, seperti kesehatan, telekomunikasi, pemerintahan, keuangan, customer services, hingga riset kanker. Di bidang kesehatan misalnya, Watson mampu sepenuhnya menggantikan peran dokter, baik untuk diagnosis maupun penanganan pasien.
Kalau fungsi dokter bisa digantikan, tinggal tunggu waktu Watson pun bisa menggantikan segudang profesi lain, mulai dari konsultan, pengacara, peneliti, analis pasar modal, analis pajak, analis BMG (ramalan cuaca), apoteker, penerjemah, petugas call center, hingga wartawan.
Asumsi bahwa robot hanya bisa menggantikan pekerjaan-pekerjaan manusia yang berpola dan bersifat repetitif, kini telah tumbang. Jadi, tak hanya pekerjaan buruh pabrik mobil yang tergantikan, pekerjaan riset seorang PhD pun bisa diambil alih oleh robot.
Jobless Economy
Pertanyaannya, bagaimana dampak robot seperti Watson bagi perekonomian secara keseluruhan? Dengan adanya robot-robot pencipta nilai seperti Watson, produktivitas (output dibagi input) tentu saja akan naik signifikan. Akibatnya, output dan pertumbuhan ekonomi juga akan naik berlipat-lipat. Namun celakanya, produktivitas dan pertumbuhan itu bukan dinikmati oleh tenaga kerja (labor) karena dengan adanya robot, tenaga kerja yang diperlukan justru kian mengecil atau bahkan hilang.
Lalu buah produktivitas/pertumbuhan itu jatuh ke tangan siapa? Tak lain jatuh ke tangan pemilik bisnis (business owner) dan pemilik modal (investor) yang memanfaatkan robot-robot di atas. Itu artinya, dalam ekonomi yang didorong oleh robot (robot-driven economy), meningkatnya produktivitas dan pertumbuhan bukannya diikuti kenaikan gaji tenaga kerja. Justru sebaliknya, gaji mereka cenderung stagnan, turun, bahkan hilang sama sekali.
Conventional wisdom yang selama ini dipegang ekonom adalah bahwa teknologi merupakan alat bantu untuk meningkatkan produktivitas (dan gaji) tenaga kerja, kini tak berlaku lagi. Tom Ford, dalam buku mutakhirnya Rise of the Robots: Technology and the Threat of a Jobless Future (2015), secara pas memberikan gambaran suram dari robot-driven economy ini. Menurutnya, supremasi robot atas manusia menghasilkan prospek ekonomi yang suram dalam jangka panjang.
Beberapa potret suram itu, antara lain gaji tenaga kerja bakal stagnan yang menyebabkan pendapatan dan kemampuan daya beli mereka terus merosot. Selain itu, penciptaan lapangan kerja menurun, pengangguran meningkat, dan partisipasi tenaga kerja merosot secara sistematis. Secara khusus, tingkat pengangguran ada di kalangan kaum berpendidikan tinggi karena tergantikan oleh robot.
Dua kubu uraian di atas menggamblangkan bahwa Revolusi Industri 4.0 layaknya dua sisi mata uang. Di satu sisi ia membangkitkan optimisme, seperti tercermin dari angka-angka yang diungkapkan Menteri Perindustrian. Namun di sisi lain, ia menimbulkan pesimisme karena berpotensi menghasilkan jobless economy. Sebuah ekonomi baru ketika tenaga manusia semakin tidak terpakai lagi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: