Ketika harga batu bara bergejolak dan ambruk ke level terendah di US$30 per ton, biduk Indika Energy pun limbung dan nyaris karam. Tim Penyelamat Perusahaan pun dibentuk. Empat jurus sederhana disiapkan. Hasilnya? Ampuh. Perusahaan pulih kembali.
"Kebanggaan ini bukan semata bagi kami, tetapi juga untuk seluruh kalangan bisnis di Indonesia,” kata Direktur Utama PT Indika Energy Tbk, M. Arsjad Rasjid P. M, saat perusahaan dinobatkan sebagai Global Growth Companies (GGC) oleh World Economic Forum (WEF) yang tengah menggelar annual meeting di Davos, Swiss, pada September 2011. Indika Energy terpilih menjadi salah satu role model di antara 315 anggota WEF GGC yang mewakili lebih dari 60 negara. Pemilihan ini atas dasar progresif dan dinamisnya perusahaan, serta potensi yang dimiliki untuk menjadi pemimpin industri, serta menjadi kekuatan pendorong perubahan ekonomi dan sosial. Pada saat yang sama, Arsjad Rasjid pun dinobatkan sebagai WEF Young Global Leader 2011.
Saat itu, Indika Energy benar-benar sedang berada di puncak perfoma. Awal berdiri hanya memiliki 40 karyawan pada 2000, melonjak jadi 10.000 orang satu dekade kemudian. Di rentang waktu 2000–2011, laju pertumbuhan perusahaan dengan core business tambang batu bara ini begitu kencang melalui ekspansi secara nonorganik, seperti akuisisi perusahaan. Dengan pertumbuhan yang begitu cepat, wajar bila Indika Energy terpilih sebagai GGC oleh WEF. Tak lama setelah menyandang gelar GGC, badai menerpa: harga jual batu bara bergejolak di pasar internasional.
Pemicunya perekonomian China meredup memasuki 2012. Laju pertumbuhan Negeri Tirai Bambu itu susut dari 9,2% pada 2011 menjadi 7,5% pada 2012. China adalah produsen batu bara terbesar di dunia dengan tingkat produksi 1.685,7 juta ton per tahun (Lihat: Tabel). Sebagai produsen batu bara, negeri berpenduduk 1,2 miliar itu juga pengimpor batu bara. Pasalnya, tingkat kebutuhan batu bara di negeri itu mencapai 3 miliar ton per tahun yang dipakai sebagai sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik.
Perlambatan perekonomian China ini berdampak pada pengurangan produksi batu bara dan impor batu bara negara itu. Langkah China ini membuat harga batu bara pun bergejolak. Dengan tingginya produksi dan kebutuhan batu bara impor di negara itu menjadikan China sebagai penentu harga batu bara di pasar internasional. Sontak, harga batu bara acuan yang sempat menyentuh level US$118,4 per ton pada 2011, susut ke level US$95,5 per ton pada 2012, dan susut lagi hingga menyentuh US$50 per ton pada 2013. Kenyataan ini sungguh memukul produsen tambang batu bara di dunia, termasuk Indonesia yang memproduksi 255,7 juta ton per tahun atau nomor lima terbesar di dunia.
Ekses kebijakan China ini sudah barang tentu bikin limbung semua produsen batu bara global dan Indonesia. Ada enam produsen batu bara besar di dalam negeri, yakni Bumi Resources, Adaro Energy, Indika Energy, Bukit Asam, dan Indo Tambangraya Megah. Keenam produsen batu bara itu babak belur dari sisi pendapatan dan laba perusahaan. Indika Energy misalnya, saat menerima anugerah GGC WEF pada 2011 masih mencatat laba positif US$787,5 juta, lalu anjlok menjadi negatif pada periode 2013—2016 (Lihat: Tabel). Anjloknya laba ini tentu menjadi pertaruhan reputasi bagi Indika Energy sebagai perusahaan publik. Apalagi dalam membiayai ekspansi bisnis, Indika Energy menerbitkan sejumlah surat utang (obligasi) di pasar uang internasional berdenominasi dolar Amerika Serikat.
Four Small Steps to Recovery
“We were late to take the decision,” kenang Arsjad Rasjid mengingat langkah penyelamatan perusahaan yang baru dimulai pada 2015 itu. Alumni Pepperdine University, California, Amerika Serikat ini tak menampik bahwa tindakan penyelamatan perusahaan yang dipimpinnya ketika itu terbilang sudah terlambat. Seperti kata pepatah, “better late than never.” Ia pun berpikir keras agar perusahaan yang sedang limbung tidak sampai karam dan tenggelam. Ia memakai formula yang terbilang sederhana di dunia bisnis: back to basic. Apa itu? Efisiensi. Inilah small step pertama. Kata yang sederhana ini diterjemahkannya dengan menyisir pospos mana saja yang bisa ditekan dalam bingkai efisiensi tersebut.
Salah satu yang tak terhindarkan, ia harus memangkas sekitar 40% biaya dari sumber daya manusia (human resources). Itu artinya perusahaan mesti melakukan pengurangan pegawai. Sebagai langkah awal dan role model dimulai pada level direksi. Dari tujuh direksi di Indika Energy, dikikis menjadi tiga. Dari level direksi menyasar level di bawahnya, yakni manajer, staf, hingga pegawai lapangan. Walhasil, 2.000 orang terkena rasionalisasi. Pahit ketika kebijakan itu mesti diambil, dan itu dirasakan betul oleh Arsjad. “Sewaktu perusahaan sedang tumbuh dan kami banyak merekrut karyawan, itu masa senang. Namun saat harus melepas karyawan, ini sungguh masa yang berat dan menyakitkan,” tuturnya.
Dari langkah efisiensi sumber daya manusia (SDM), Arsjad selanjutnya menyasar biaya operasional perusahaan, dari hal-hal yang terkesan remeh-temeh dan sepele sampai urusan yang lebih besar. Misalnya, pada pos perjalanan dinas dalam dan luar negeri pun diberlakukan aturan apabila waktu tempuh perjalanan via pesawat udara di bawah empat jam, naik kelas ekonomi. Begitu pula apabila ada meeting di luar kota yang memungkinkan untuk balik pada hari itu juga, baik direksi maupun staf diharuskan langsung balik ke Jakarta sehingga ada penghematan biaya penginapan.
Dari aspek operasional, produksi batu bara pun dipangkas dari 39 juta ton menjadi 32 juta ton. Pengurangan produksi tentu akan menghemat dana pada pengeluaran biaya operasional BBM kendaraan di tambang batu bara. Blessing in disguise, saat perusahaan melakukan penghematan BBM, harga minyak bumi di pasar internasional turun dan ikut menghemat biaya BBM. Maklumlah, 30% dari biaya produksi di tambang batu bara ini bersumber dari pengeluaran untuk BBM. Pada prinsipnya, tidak ada pos yang lolos dari proses efisiensi.
Efisiensi juga berlaku untuk semua anak-anak usaha perusahaan. Anak perusahaan yang tidak efisien dilepas. Anak usaha yang dipertahankan dipastikan merupakan sektor unggulan yang menjadi penopang perusahaan. Indika Energy memiliki tiga pilar bisnis, yakni sumber daya energi, jasa energi, serta infrastruktur energi. Di pilar sumber daya energi ada empat perusahaan (PT Kideco Jaya Agung, PT Multi Tambangjaya Utama, PT Mitra Energi Agung, dan PT Indika Energy Trading). Di pilar jasa energi ada tiga perusahaan (PT Petrosea Tbk, PT Tripatra Engineers & Constructors, dan PT Tripatra Engineering). Di pilar infrastruktur energi, ada lima perusahaan (PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk, PT Cirebon Electric Power, PT Petrosea Offshore Supply Base, PT Indika Logistic & Support Services, dan PT Kuala Pelabuhan Indonesia).
Optimalisasi aset menjadi small step kedua. Cara ini pun bukan sesuatu yang luar biasa untuk dilakukan perusahaan yang sedang limbung. Namun, inilah pilihan yang diambil. Optimalisasi aset pun tidak dengan cara yang muluk-muluk, tetapi sesuatu yang sederhana saja. Ambil contoh, pemakaian ban kendaraan operasional di tambang batu bara. Dari biasanya rata-rata dua tahun sekali mesti ganti, diupayakan optimal agar bisa tambah satu tahun lagi, yakni tiga tahun sekali pergantian. Begitu juga pemakaian komponen kendaraan lainnya juga diupayakan seoptimal mungkin. Prinsipnya, tak ada aset perusahaan yang tak optimal pemanfaatannya. Dari optimalisasi ini akan ikut menghemat biaya yang bermuara pada penambahan penghasilan.
Strategi manajemen utang (liability management) menjadi small step ketiga. Seperti diketahui, untuk membiayai ekspansi perusahaan yang begitu kencang di masa silam, sebagian dilakukan dengan menerbitkan surat utang di pasar uang internasional. Langkah pertama yang dilakukan perusahaan saat menghadapi krisis adalah melakukan audiensi kepada investor global yang selama ini membelanjakan dana mereka untuk membeli obligasi yang diterbitkan perusahaan. Kepada para investor, Arsjad menyampaikan apa adanya kondisi perusahaan dan rencana aksi korporasi ke depan guna menyelamatkan perusahaan. Rupanya, langkah manajemen tersebut diapresiasi investor.
Pasca upaya menghadap investor berjalan lancar, dengan tingkat kepercayaan investor terhadap manajemen Indika Energy yang masih tinggi, jelas hal ini bikin semangat Arsjad dan jajaran direksi untuk menata pembayaran kewajiban perusahaan yang jatuh tempo. Tumpukan utang perusahaan dari US$1,2 miliar dipangkas jadi US$850 juta. Utang yang ada coba direstrukturisasi dengan tenor lebih panjang. Meski lembaga rating dunia, seperti Moody’s dan Fitch, sempat menurunkan peringkat utang Indika dari “B” ke “CCC” pada 2013, toh ketika perusahaan menerbitkan surat utang baru senilai US$500 juta justru mengalami oversubscribed dua sampai tiga kali dengan tingkat kupon 5,875%, terendah untuk kategori obligasi perusahaan tambang bertenor 7 tahun di Asia. “Di sinilah saya merasakan pentingnya menjaga nama baik dan kredibilitas,” ujar dia.
Langkah-langkah yang terkesan simpel dan sederhana, seperti efisiensi, optimalisasi aset, dan penataan kembali utang secara lebih sehat melalui liability management, memberikan dampak di luar dugaan. Saat mulai melakukan pembenahan internal di 2015, kinerja keuangan masih membukukan rugi bersih setelah pajak sebesar US$44,6 juta. Begitu pula di 2016, masih rugi bersih setelah pajak sebesar US$67,6 juta. Namun, setahun kemudian (2017) kinerja keuangan perusahaan sudah meraup laba bersih setelah pajak sebesar US$335,4 juta.
Perbaikan kinerja perusahaan juga ditopang pemulihan harga batu bara di pasar internasional yang mulai menyentuh level US$85 per ton pada 2017. Pemulihan harga itu berlangsung setelah pemerintah China menghidupkan kembali produksi sejumlah tambang batu bara guna menahan laju kehancuran perusahaanperusahaan batu bara di sana akibat belitan utang. Langkah pemerintah China ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas harga batu bara guna mengamankan perusahaan batu bara mereka agar bisa keluar dari jebakan kebangkrutan. “China berkepentingan menyelamatkan sektor batu baranya,” ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia, Hendra Sinadia.
Ekspansi Bisnis Non-Batu bara
Setelah melewati badai yang nyaris bikin limbung perusahaan, berbekal disiplin tinggi dalam menegakkan efisiensi pengeluaran yang dilandasi tata nilai yang tidak hanya sebagai jargon semata, tetapi dapat dijalankan dengan baik, karyawan Indika Energy mampu melewatinya. Krisis harga batu bara menjadi pembelajaran berharga bagi perusahaan untuk tidak boleh terlena dan cermat dalam membaca proyeksi bisnis batu bara ke depannya. Krisis batu bara tidak membuat manajemen Indika Energy kapok, justru semakin bergairah untuk menambang “emas hitam” ini.
Pada 25 September 2017, Indika Energy melalui anak usahanya PT Indika Inti Corporindo, mengakuisisi tambahan 45% saham PT Kideco Jaya Agung— perusahaan tambang batu bara terbesar ketiga di Indonesia dengan volume produksi 32 juta ton per tahun—dari Samtan Co Ltd dan Muji Inti Utama dengan nilai pembeilan US$677,5 juta. Untuk membiayai akuisisi ini, perusahaan menerbitkan surat utang. Dengan akuisisi ini, Indika Energy menjadi pemegang saham mayoritas sebesar 91,0% di Kideco. Lahan tambang Kideco berada di Kalimantan Timur dengan luas 50,9 ribu hektare dengan cadangan batu bara mencapai 422 juta ton. Kideco memegang hak pertambangan batu bara sampai tahun 2023 di bawah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) generasi pertama.
Langkah Indika Energy melalap saham Kideco memberi sinyal bahwa masa depan bisnis batu bara masih cerah. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, cadangan batu bara Indonesia diperkirakan bakal habis sekitar 82 tahun ke depan apabila digali rerata 255,7 juta ton per tahun. Meski ada tren dunia— seperti China dan India yang selama ini memakai batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik mereka mulai beralih ke sumber energi yang lebih bersih seperti LNG—toh hal itu bukanlah serta merta bisa diartikan bisnis batu bara akan meredup. Pasalnya, harga LNG terbilang lebih mahal untuk ongkos produksi pembangkit listrik ketimbang batu bara yang sampai saat ini terbilang paling murah.
Meski isu lingkungan hidup menjadi sorotan tajam terkait pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi, tetapi negara-negara berkembang di Asia, seperti Filipina, Vietnam, Myanmar, Pakistan, Laos, Kamboja, termasuk Indonesia, masih mengandalkan batu bara sebagai sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik mereka. Hal ini karena batu bara relatif lebih murah dibanding sumber energi lainnya. Setidaknya, kata Arsjad, untuk kurun lima tahun ke depan, Indika Energy masih mengandalkan sumber pendapatan dari batu bara. Setidaknya, 80% dari pendapatan perusahaan berasal dari batu bara.
Mengantisipasi tren dunia yang mengarah ke renewable energy, Indika Energy mulai mempersiapakan lini usaha non-batu bara. Tujuannya untuk mengejar target menyumbang 25% dari total pendapatan perusahaan. Inilah small step keempat perusahaan. Untuk mendngkrak pasok pendapatan dari non-batu bara itulah perusahaan terus mencoba melakukan ekspansi secara organik maupun nonorganik. Misalnya, rencana perusahaan membangun fasilitas penyimpanan produk bahan bakar di Kalimantan Timur senilai US$108 juta melalui PT Kariangau Gapura Terminal Energi (KGTE). Di bisnis ini, KGTE bermitra dengan ExxonMobil untuk kurun 20 tahun. “Dari fasilitas penyimpanan bahan bakar ini, ada pemasukan rutin buat perusahaan,” ujar Arsjad.
Dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, PT Petrosea Tbk yang hampir 70% kepemilikan sahamnya dikuasai Indika Energy, mengerjakan proyek non-batu bara, yaitu pembangunan tanggul di area tambang PT Freeport Indonesia di Papua. Selama ini, Petrosea menggarap jasa rekayasa konstruksi dan kontraktor pertambangan batu bara. Melalui anak usaha lainnya, PT Tripatra Engineers & Constructors (100% sahamnya dikuasai Indika Energy) mengerjakan pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 25MW di Nias. Tripatra merupakan perusahaan engineering, procurement, dan construction (EPC) untuk industri migas, seperti menangani Blok Cepu di Jawa Timur dan kilang LNG di blok Tangguh-Papua. Indika Energy juga menjadi salah satu pemilik dari Cirebon Electric Power (CEP), pembangkit listrik bertenaga uap batu bara dengan kapasitas 660 MW dan saat ini sedang membangun perluasan PLTU berkapasitas 1 x 1.000MW di Cirebon.
Tidak hanya itu, Indika Energy juga memperhatikan tren bisnis energi ke depannya yang akan mengarah ke renewable energy, seperti matahari (solar), air (hydro), dan angin (wind). Namun, itu semua masih dalam tahapan penjajakan dan persiapan sambil menanti lingkungan bisnis renewable energy termasuk kematangan dan kesiapan regulasi yang menyertainya.
Sejatinya, bukan Indika Energy saja yang menempuh langkah efisiensi tatkala badai gejolak harga batu bara mulai “berjingkrakan” pada 2012 hingga 2016. Memasuki 2017, harga relatif stabil dan membaik di level US$80 per ton setelah China memperbaharui kebijakannya untuk memproduksi kembali batu bara dan membuka keran impor. PT Adaro Energy Tbk pun melakukan langkah serupa dengan Indika Energy: efisiensi. Menurut Chief Executive Officer (CEO) Adaro Energy, Garibaldi Thohir, perusahaan menyadari bahwa harga batu bara tidak dalam kuasa perusahaan untuk mengendalikan. “Yang bisa dikendalikan perusahaan hanya cost reduction agar operasional perusahaan bisa efisien dan mendongkrak profit,” ujar abang dari bos Mahaka Group, Erick Thohir ini.
Sampai di sini, empat small step Indika Energy (efisiensi, optimalisasi aset, liability management, dan ekspansi usaha di bidang non-batu bara) sudah membuahkan hasil yang luar biasa berupa laba bersih pada 2017. Yang terjadi pada Indika Energy seperti mengamini The Ripple Effect, “Small Steps Lead to Big Results.”
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: