Adanya kerusakan tanah yang terjadi pada area yang luas dan penggunaan pestisida yang tidak bijak mengancam ketahanan pangan nasional.
Hal itu dikatakan Senior Expatriate Tech-Cooperation Aspac FAO, Ratno Soetjiptadie, dalam diskusi tebatas bertema "Produktivitas Padi versus Importasi Beras, Ada Apa?" yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) di kantor Kementerian Pertanian (Kementan), Jakarta, Senin (09/7/2018).
Dia memperkirakan, sekitar 69% tanah Indonesia dikategorikan rusak parah lantaran penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan.
Menurutnya, ketahanan pangan (food securities) selama 2015-2080 Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim. Banjir, kekeringan, dan serangan hama, selalu dijadikan kambing hitam gagal pangan.
"Kita belum punya perencanaan. Kalau butuhnya 1 juta ton, mestinya produksi 1,5 juta ton sehingga ada stok 0,5 juta ton. Kita belum sampai ke sana," ujarnya.
Selain itu, katanya, rendahnya sentuhan teknologi oleh petan, lantaran minimnya ilmu pengetahuan. Petani tidak dapat mengukur Ph tanah atau obat-obatan apa saja yang tidak boleh digunakan. Petani juga tidak bisa memilih benih unggul.
Bahkan, lanjutnya, ada petani di Krawang memberikan pupuk pada tanaman padi hingga 1 ton. Petani beranggapan bahwa diberi input 1 kg akan ada kenaikan produksi.
"Akibatnya, biaya produksi beras di Indonesia cukup tinggi dan salah satu kontribusinya dari pembelian pupuk," terangnya.
Ratno mengatakan, biaya produksi beras Indonesia sebesar Rp5.900 per kilogram (kg), Vietnam Rp2.300 per kg, Australia Rp1.800 per kg, dan Amerika Serikat Rp900 per kg.
"Ditakutkan, jka tidak terobosan, Indonesia akan tetap impor beras. Sementara sekitar 40 juta petani padi di Indonesia itu menghidupi penduduk 240 juta jiwa. Itu riskan," ujar Ratno.
Dia menambahkan, apabila petani merugi maka akan beralih profesi. Jika demikian, siapa yang akan menanam padi?
"Untuk itu, perlu ada program perbaikan tanah secepatnya atau soil amendment programme (program pembugaran tanah) dengan memperbaiki sifat biologi tanah," tuturnya.
"Selama ini kita hanya memperhatikan sifat fisika dan kimia sementara aspek biologi tidak pernah dipikirkan. Nenek moyang kita zaman dulu tidak ada pupuk, tapi bisa menanam dan panen. Pada saat intesif mennggunakan pupuk, produksi malah turun atau terjadi gagal panen," tukasnya.
Produktivitas Pangan Menurun
Ketua Kompartemen Tanaman Pangan Asosiasi Perbenihan Indonesia (Asbenindo), Yuana Leksana, mengungkapkan, produktivitas jagung yang meningkat, terutama adanya kontribusi penggunaan teknologi hibrida.
Adapun produktivitas adalah parameter atau refleksi dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian berlanjut mendorong keterlibatan sektor swasta dalam industri benih.
"Keterlibatan industri benih berdampak positif pada rangkaian proses yang sistematis mulai dari kebutuhan pasar, penelitian, produksi benih, pemasaran, hingga pendampingan konsumen," tambahnya.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), dalam tiga tahun belakangan, produksi padi terus meningkat, namun dari sisi produktivitas menurun. Sementara produksi jagung naik dikarenakan luas panen meningkat, sedangkan tingkat produktivitasnya turun.
Produktivitas padi tahun 2015 sebesar 5,34 ton per hektare, tahun 2016 turun menjadi 5,24 ton per hektare, dan tahun 2017 hanya mencapai 5,16 ton per hektare.
Meskipun, lanjutnya, pemerintah telah mendorong penggunaan benih bermutu dan varietas unggul melalui subsidi benih. "Anehnya, banyaknya bantuan benih pemerintah, namun dari aspek podukivitas malah menurun," ujarnya.
Dia menyebutkan, varietas padi Ciherang yang dilepas pada tahun 2000, masih mendominasi 30,44% luas tanam padi nasional. Padahal, Kementan telah melepas banyak varietas padi setelahnya yang memiliki potensi hasil lebih tinggi. Misalnya, varietas padi Mekongga dan Inpari yang ditanam dalam skala luas.
Untuk itu, dia mendorong penggunaan benih padi hibrida. Teknologi tersebut sudah diperkenalkan pada tahun 2001 lewat pelepasan varietas dan diseminasi teknologi Kaji Terap, baik oleh Kementan maupun swasta.
"Hibrida sudah terbuki pada jagung karena sekitar 70% areal tanam sudah menggunakan hibrida," jelasnya.
Selain itu, ketersediaan fasilitas penelitian dan produksi benih di dalam negeri serta kemitraan penangkaran yang terjalin baik untuk benih jagung.
"Padi hibrida menjadi pilihan di banyak negara Asia, misalkan China, India, Pakistan, Bangladesh, Filipina, dan Vietnam," ujar Yuana.
Dia menyebutkan, produktivitas padi hibrida lebih tinggi sekitar 20%-30% daripada benih biasa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Fauziah Nurul Hidayah