Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Parah, KIPP Soroti Perilaku Elit Politik Indonesia

Parah, KIPP Soroti Perilaku Elit Politik Indonesia Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo (kiri), Koordinator Divisi Penyelesaian Sengketa Bawaslu Rahmat Bagja (kedua kiri), Wasekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi (kedua kanan), dan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto (kanan), menyampaikan paparannya dalam diskusi "Evaluasi Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018" di Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, Jum'at (20/7) malam. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyebut dari evaluasi pelaksanaan Pilkada serentak di 171 wilayah pada Rabu (27/6) lalu, terdapat 110 TPS yang akan dilakukan pemungutan suara ulang (PSU). PSU bukan hanya dikarenakan masalah keamanan dan bencana alam namun juga terdapat beberapa pelanggaran, salah satunya terkait masalah DPT. | Kredit Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Warta Ekonomi, Jakarta -

Wacana pemilihan presiden (pilpres) 2019 bersifat elitis. Bahkan hanya dibicarakan oleh kalangan elit saja demi mengejar kemenangan semata. Padahal seharusnya Pilpres menjadi ajang pendewasaan demokrasi untuk Indonesia.

Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, menjelaskan ada banyak isu yang harusnya dibahas dalam koalisi sebelum mengajukan nama presiden dan wakil presiden dalam pemilihan 2019 mendatang, di antaranya kesenjangan kemiskinan, korupsi, dan berbagai masalah sosial ekonomi dan politik. Selain itu, konstelasi bangsa Indonesia di dunia internasional juga harus menjadi pertimbangan dalam pilpres nanti.

"Pada intinya KIPP memandang parpol dan elit politik Indonesia seharusnya memikirkan kepentingan bangsa dalam mengajukan calon presiden, tidak hanya menghitung menang kalah semata,"  ujarnya di Jakarta, Rabu (8/8/2018).

Idealnya, tambah Kaka, harus menghadirkan figur pasangan yang merupakan solusi untuk bangsa Indonesia saat ini ke depan. Sebab pilpres menjadi proses pendidikan politik dan pendewasaan demokrasi untuk bangsa. Selain itu, lemahnya kepercayaan kepada kelembagaan baik negara maupun kelembagaan lainnya harus menjadi pertimbangan dalam pilpres, sehingga calon yang disodorkan adalah calon yang mampu untuk membangun kepercayaan.

"Wacana pilpres yang nampak lebih elitis, tak dapat menjawab tantangan ke depan, sehingga perlu wacana alternatif," imbuhnya.

Ia mencontohkan wacana ketimpangan pusat dan daerah, bukan hanya dijawab dengan mengajukan sosok dari daerah, tetapi mengangkat isu ketimpangan pusat dan daerah tersebut. 

"isu-isu seperti itu seharusnya menjadi bagian pertarungan ide di antara parpol dan para kandidat," katanya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Irfan Mualim

Bagikan Artikel: