Berkembangnya teknologi finansial atau financial technology (fintech) diyakini harus diiringi dengan pengawasan yang kuat dan sehat. Ironisnya, sejauh ini hal tersebut belum dapat terwujud. Pengawasan fintech oleh regulator di Indonesia justru dinilai baru sebatas meregistrasi penyelengara fintech.
Regulasi yang masih belum terlalu mumpuni tersebut disayangkan karena seolah mengesampingkan potensi ekonomi dari bisnis fintech. Selain itu, seakan membiarkan fintech liar bermain di ruang gelap.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyarankan pemerintah memberikan kemudahan dan perlakuan khusus untuk industri fintech agar lebih berkembang. Ini juga agar fintech yang terdaftar semakin banyak, sehingga kegiatannya bisa terawasi lebih optimal.
"Ngurusin fintech itu kayak main layangan. Kalau kita terlalu ketat regulasinya, inovasinya enggak akan jelas. Kalau kita terlalu lurus, nanti ada efek pengawasan lemah. Jadi harus diperbaiki ke depannya," tuturnya kepada wartawan, Selasa (28/8/218).
Bhima melihat harus ada perlakuan yang berbeda jika ingin mendukung fintech. Sebagai contoh, perlu ada relaksasi regulasi yang memudahkan penyelenggara fintech lending untuk mendapatkan nasabah baru. Misanya, dengan kemudahan regulasi tanda tangan digital.
Perlu juga kejelasan regulasi terkait kolaborasi antara perbankan dengan lembaga keuangan lain, seperti perbankan. Tidak lupa, perlu ada insentif perpajakan, khususnya bagi fintech yang bergerak di sektor pendanaan produktif yang bisa memberikan efek ekonomi lebih besar.
Sebagai pemain di industri baru ini, CEO sekaligus Co-Founder Koinworks, Benedicto Haryono berharap pemerintah bisa lebih memberi kemudahan bagi fintech, khususnya dalam pemerolehan izin.
Jangan sampai aturan dibuat terlalu ketat hingga sama seperti regulasi perbankan. Baiknya, Benedicto menyatakan, aturan soal fintech lebih ringan daripada sektor perbankan dan lebih mengarah ke hal-hal fundamental.
"Ini yang menurut saya bagusnya dari regulator fokus ke hal tersebut daripada menambah peraturan-peraturan baru. Fokus pada fundamental, basis, pengawasan," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Ajisatria Suleiman menambahkan, untuk memperkuat peran fintech, tidak terkecuali dalam perekonomian, diperlukan kebijakan yang mampu menekan biaya akusisi nasabah, meminimalisasi risiko penipuan, dan dapat konsumen beriktikad baik.
"Ke depannya, kami berharap risiko fraud dari nasabah palsu dan risiko gagal bayar dapat diminimalisasi dengan penguatan akses identitas berbasis biometrik dan juga akses ke layanan biro kredit," kata Aji.
Ia mengungkapkan, saat ini sudah ada pengaturan di OJK terkait e-Knowing Your Customer (e-KYC) dan informasi kredit. Namun, masih dibutuhkan implementasi di level teknis, terutama yang bersifat lintas kementerian. Contohnya dengan Kemendagri dan Kemenkominfo.
Berdasarkan kajian Indef bersama dengan Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), perkembangan fintech di Indonesia mampu meningkatkan PDB sebesar Rp25,97 triliun, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, konsumsi rumah tangga mampu meningkat hingga Rp8,94 triliun.
"Ini sektor yang baru 5 tahun terakhir tumbuh, tapi impact terhadap ekonomi luar biasa besar," ucap Bhima.
Hasil kajian tersebut menyebutkan, pertumbuhan fintech tersebut mampu menyerap tenaga kerja. Bhima mengatakan, di sisi dunia usaha, kompensasi tenaga kerja, baik berbentuk gaji dan upah mampu meningkat sebesar Rp4,56 triliun, dengan sektor yang mengalami kenaikan adalah sektor perdagangan, keuangan, dan asuransi.
Menurutnya, ketiga sektor ini mempunyai peran langsung dalam pengembangan fintech.
"Selain itu, kehadiran fintech mampu menyumbang penyerapan tenaga kerja sebesar 215.433 orang yang tidak hanya dari sektor-sektor tersier, namun sektor primer seperti pertanian, juga mengalami penyerapan tenaga kerja yang cukup besar, 9.000 orang," ujar Bhima.
Ke depannya, dampak ekonomi dari fintech diyakininya akan makin besar. Terlihat dari cepatnya perkembangan fintech dari jumah penyaluran dana industri baru ini. Pada 2016, penyaluran dana fintech baru Rp200 miliar.
Kemudian, angkanya melejit menjadi Rp7,64 triliun pada Juni 2016. Karena itulah, kata Bhima, penting bagi pemerintah untuk terus mendukung industri fintech, mengingat dampak ekonominya yang tidak kecil.
"Semakin fintech lending didorong, efeknya ke konsumsi rumah tangga cukup meningkat," kata Bhima.
Gara-gara fintech, konsumsi rumah tangga, menurut Bhima, meningkat hingga Rp8,94 triliun. seperti diketahui, sejauh ini konsumsi rumah tangga masih merupakan salah satu pembentuk utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Badan Pusat Statisik (BPS) bahkan menyatakan, dari pertumbuhan ekonomi sebesar 5,27% pada triwulan II-2018, sebanyak 2,76%-nya disumbang oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Untuk diketahui, besarnya dampak dari fintech tersebut, sebenarnya belum semua terungkap. Pasalnya, kontribusi sebesar Rp25,97 triliun dari fintech hanya dihitung dari 66 fintech yang sudah terdaftar di OJK. Di sisi lain, masih banyak penyelenggara fintech lain yang berada di luar pengawasan OJK.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: