Kalau ditanya hal apa yang paling menandai perekonomian global di semester I-2018 ini, jawabannya: gejolak di pasar keuangan dunia.
Bahkan, analisis yang dilakukan banyak kalangan menyimpulkan bahwa gejolak dan volatilitas pasar keuangan dunia di paruh pertama 2018 merupakan yang tertinggi pascakrisis Subprime Mortgage di Amerika Serikat pada 2008. Ini seolah menunjukkan hipotesis siklus 10 tahunan krisis keuangan dunia benar adanya.
Dampak dari gejolak ini sangat terasa, utamanya di negara-negara dengan pasar yang sedang berkembang (emerging market). Efeknya tidak hanya dirasakan di pasar keuangan, tetapi juga telah menurunkan kinerja perekonomian dan bahkan tidak sedikit bermuara menjadi krisis politik di sejumlah negara. Hal ini dapat dilihat lewat kondisi dan situasi di sejumlah negara di Amerika Latin, seperti Brasil, Venezuela, dan Argentina.
Ekonomi Indonesia juga tidak imun dari dampak gejolak di pasar keuangan global seiring dengan semakin terintegrasinya perekonomian nasional ke dalam sistem ekonomi global. Selain transmisinya terjadi melalui jalur perdagangan dan investasi, dampak gejolak pasar keuangan global ke pasar domestik dapat juga melalui aspek psikologis, seperti sentiment, confidence, dan keyakinan investor atau pelaku pasar.
Pada semester I-2018, dampak dari gejolak pasar keuangan global dapat dirasakan dari tekanan depresiasi nilai tukar rupiah, turunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), naiknya suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI), turunnya cadangan devisa, serta naiknya imbal hasil obligasi dan tekanan fiskal akibat naiknya harga minyak mentah dunia. Tercatat ada tiga faktor penting penyebab gejolak eksternal dan pasar keuangan dunia yang berdampak cukup besar bagi perekonomian Indonesia.
Tiga Faktor Eksternal
Terdapat beberapa faktor di ekonomi global yang secara signifikan mengakibatkan gejolak di pasar keuangan negara-negara emerging market akhir-akhir ini. Pertama, dampak dari kenaikan suku bunga The Fed di Amerika Serikat. Sebelumnya, sepanjang tahun 2009-2012 dengan kebijakan Quantitative Easing (QE) di Amerika Serikat, tercatat tidak kurang US$4,5 triliun dana masuk ke pasar keuangan di negara-negara emerging market baik di pasar uang, pasar saham, maupun pembelian obligasi.
Praktis negara-negara seperti Brasil, India, Afrika Selatan, Rusia, dan termasuk Indonesia menikmati capital inflow dan dana murah cukup besar. Namun, dengan adanya kebijakan normalisasi melalui pengurangan pembelian surat utang korporasi dan diganti dengan kebijakan moneter melalui mekanisme suku bunga, hal tersebut mengakibatkan pasar keuangan di emerging market merasakan capital outflow sejak 2013. Derasnya capital outflow mengakibatkan efek berantai dari mulai pasokan dolar di emerging market mengering, jatuh tajamnya pasar modal, depresiasi nilai tukar, naiknya yield obligasi, terkurasnya cadangan devisa, dan memaksa bank sentral negara emerging market menaikkan suku bunga.
Faktor kedua adalah tren kenaikan harga minyak mentah dunia. Harga minyak mentah dunia sempat mengalami tren penurunan sejak Maret 2014 meninggalkan harga di kisaran US$110 per barel dan sempat menyentuh angka terendah di kisaran US$30 di akhir Mei 2017. Sejak itu sampai sekarang, tren kenaikan harga minyak mentah dunia terus terjadi.
Meskipun harga minyak mentah dunia saat ini masih belum menyentuh level tertinggi dalam satu dekade terakhir, yaitu pada 11 Juli 2008 yang sempat menyentuh US$147 per barel, posisi harga minyak mentah dunia saat ini (yang berada di kisaran US$65-US$70 per barel) menyulitkan bagi sejumlah negara net importer di emerging market. Sejumlah faktor, seperti kesepakatan negara OPEC untuk mengurangi produksi, konflik Timur Tengah dan kesepakatan nuklir Iran, krisis Venezuela, dan meningkatnya proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia membuat permintaan akan minyak mentah meningkat.
Tren kenaikan tersebut sempat tertahan akibat naiknya produksi minyak di Amerika Serikat (AS), namun hal tersebut hanya bersifat smoothing dan tidak akan membuat harga minyak mentah dunia kembali turun ke posisi di bawah US$50 per barel. Bahkan, tidak sedikit pihak yang memproyeksikan harga minyak mentah dunia dapat menyentuh US$100 per barel. Kenaikan harga minyak mentah dunia selain berisiko mengganggu stabilitas fiskal juga berisiko meningkatkan inflasi di negara net importer minyak.
Faktor ketiga, risiko menguatnya perang dagang atau trade war. Hal ini dipicu oleh kebijakan Presiden AS Donald Trump yang mengenakan tarif impor tambahan produk dari sejumlah negara ke AS. Baru-baru ini, AS mengumumkan akan mengenakan tarif senilai US$50 miliar atas produk-produk dari China serta akan membatasi investasi China di AS. Selain itu, AS telah mengumumkan tarif impor produk baja dan aluminium dari Eropa, Kanada, dan Meksiko.
Langkah AS dikhawatirkan tidak akan berhenti di sini saja. Sejumlah negara berisiko akan mendapatkan tambahan tarif impor untuk produknya yang masuk ke pasar AS. Kebijakan ini tentu mendapat respons yang sama dan memicu munculnya perang dagang.
Misalnya, Uni Eropa sudah berencana akan mengenakan tarif tambahan produk ekspor AS untuk pasar Eropa senilai tidak kurang US$7,5 miliar. China, Kanada, dan Meksiko juga telah mengumumkan pengenaan tarif ekspor produk AS di pasar mereka. Kanada baru-baru ini mengumumkan pengenaan tarif impor produk AS, termasuk baja dan aluminium. Beberapa produk akan dikenakan tarif masuk sebesar 10% dan yang lainnya 25%. Diperkirakan nilainya akan mencapai US$12,8 miliar.
Dampak terhadap Indonesia atas trade war ini bisa langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung akan terjadi ketika produk ekspor Indonesia juga dikenai tarif impor oleh AS. Sementara, dampak tidak langsung terjadi ketika membanjirnya produk impor dari China akibat pengalihan dari pasar AS. Keduanya akan berpotensi semakin memperbesar defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia.
Stabilisasi dan Fundamental
Yang jadi pertanyaan saat ini, kebijakan seperti apa yang harus dilakukan oleh negara-negara emerging market, khususnya Indonesia, di tengah suasana gejolak perekonomian global yang sedang dan masih akan terjadi di semester II-2018 dan sepanjang tahun 2019?
Ada dua hal yang dapat menjadi fokus kebijakan yang harus dilakukan di bidang perekonomian. Pertama, kebijakan yang terfokus pada langkah langkah stabilisasi yang terukur untuk smoothing dampak gejolak perekonomian dunia. Kedua, menjaga fundamental ekonomi dan nonekonomi tetap terjaga secara baik. Kebijakan yang berorientasi pada stabilisasi terukur dilakukan sebagai respons cepat terhadap dampak gejolak eksternal.
Misalnya, upaya stabilisasi nilai tukar mata uang dengan opsi kebijakan, seperti intervensi banksentral, penyesuaian suku bunga, penerbitan obligasi, bilateral swap agreement, dan tetap menjaga inflasi terkendali. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari kecemasan dan kepanikan pelaku pasar yang berpotensi memperburuk kondisi yang ada. Selain itu, harmonisasi kebijakan di antara otoritas moneter dan fiskal harus terus dijaga.
Bagi Indonesia—belajar dari krisis di masa lalu—kita sudah memiliki perangkat kelembagaan dan tata aturan yang jauh lebih lengkap dibandingkan sebelum krisis 1998. Saat ini, kita sudah memiliki UU Nomor 9 Tahun 2016 mengenai pencegahan dan penanganan krisis keuangan, FSSK, lembaga-lembaga yang lebih lengkap (BI, pemerintah, LPS, dan OJK), dan sejumlah kerja sama bilateral swap agreement dengan beberapa pihak, seperti ASEAN, Jepang, Korea Selatan, dan China.
Sementara itu, kebijakan yang berorientasi memperkuat fundamental ekonomi harus terus dilakukan. Perbaikan ease of doing business, penyederhanaan perizinan, debirokratisasi, skema insentif bagi investasi, industrialisasi, penguasaan teknologi produksi, peningkatan produktivitas tenaga kerja, pengembangan ekspor, pariwisata, perbaikan rantai nilai produksi dan logistik nasional, serta program hilirisasi dan nilai tambah harus tetap dilakukan.
Selain itu, belajar dari pengalaman Brasil, Argentina, dan Venezuela yang memburuk ketika diterpa gejolak ekonomi global, penting bagi Indonesia untuk tetap menjaga faktor-faktor nonekonomi, seperti politik, komitmen akan pemberantasan korupsi, serta terjaganya keamanan dan ketertiban di masyarakat. Terlebih, saat Indonesia menyongsong tahun politik di semester II-2018 dan sepanjang tahun 2019.
Stabilitas politik, keamanan, dan ketertiban mutlak dijaga selama pilkada serentak, pileg, dan pilpres agar ekonomi Indonesia tetap mampu berdaya tahan dan saing di tengah gejolak ekonomi global yang masih akan terus terjadi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: