Pernah mendengar kata predatory pricing atau tarif predator? Istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan keadaan rendahnya tarif suatu barang atau jasa yang bertujuan menyingkirkan kompetitor, sehingga nantinya penyedia dapat menentukan harga yang lebih tinggi. Penyedia yang menerapkan predatory pricing dianggap seperti predator. Ia rela menjual barang atau jasa di bawah harga normal dalam periode tertentu untuk membuat pesaingnya berhenti menawarkan produk serupa. Ketika pesaingnya telah meninggalkan pasar, predator akan menaikkan harga kembali.
Biro Pengawasan Persaingan di Kanada mendefinisikan predatory pricing sebagai perilaku perusahaan yang dengan sengaja menetapkan harga suatu produk di bawah biaya normal untuk menimbulkan kerugian atas penjualan produk di segmentasi pasarnya dalam jangka waktu tertentu. Hal itu bertujuan untuk menghilangkan, mendisiplinkan, atau menghalangi masuknya pesaing. Setelah itu, perusahaan akan menutup kerugian dengan menentukan harga yang lebih tinggi dari yang seharusnya. Bentuk dari predatory pricing ada dua, yakni implisit (diskon, payback) dan eksplisit.
Bila berhasil dilakukan, predatory pricing dapat menimbulkan monopoli pasar. Salah satu contoh dari penerapan tarif predator, mengekspor barang dengan harga yang lebih murah dari biaya produksi (dumping). Umumnya, metode tersebut digunakan untuk menghadapi perusahaan yang baru saja masuk ke persaingan pasar. Jika monopoli menghasilkan untung yang besar, pasti akan menarik pemain baru ke dalam persaingan.
Dalam kondisi di mana pesaing dari predator dapat bertahan di tengah strategi predatory pricing, pihak berwewenang seperti Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor (IIPS), umumnya tidak akan terlibat karena harga di pasar menurun secara adil. Dengan begitu, pilihan konsumen masih beragam dan kompetisi di pasar pun masih sehat. Sebaliknya, bila predator sudah memonopoli pasar, pihak berwenang akan langsung turun tangan.
Biasanya, predatory pricing dilaksanakan ketika ada pesaing baru yang dinilai berpotensi 'menyerang' pasar sebuah perusahaan. Meskipun harus merugi di awal, perusahaan yang terbiasa menerapkan predatory pricing umumnya memiliki dana simpanan yang dapat digunakan selama strategi tersebut dijalankan.
Di Indonesia, kasus predatory pricing pernah terjadi pada sektor transportasi online (taksi) dan penyedia layanan jaringan seluler. Beberapa waktu belakangan, salah satu penyedia layanan transportasi online, Grab diduga menerapkan sistem predatory pricing yang menyebabkan iklim persaingan tidak sehat dalam sektor transportasi online.
Lantas, apakah predatory pricing merugikan konsumen?
Sesungguhnya, ketika terdapat perusahaan yang terlibat dalam persaingan harga (salah satunya dengan predatory pricing), hasil akhirnya adalah pasar dikuasai oleh satu perusahaan saja. Selain mengurangi pilihan konsumen, hal itu juga memicu kenaikan harga yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang. Namun, jangan samakan predatory pricing dengan persaingan ketat yang kompetitif. Perang harga sangat bagus untuk konsumen, bila semua perusahaan dapat bertahan di tengah persaingan itu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: