Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), publik perlu mengetahui ciri layanan financial technology yang sifatnya ilegal. Dengan begitu, mereka dapat lebih berhati-hati dalam memilih layanan fintech agar tidak merasakan dampak negatifnya.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hendrikus Passagi, menjelaskan, ada 5 ciri dari layanan fintech ilegal. Ia mengimbau masyarakat agar memahami kelima ciri tersebut.
"Ciri pertama: pengelola dan direksi sengaja menyamarkan identitas diri dan alamatnya sehingga bila ada seseorang yang merasa diperlalukan buruk dan melaporkannya ke polisi, alamatnya tidak akan pernah ketemu. Memang sudah ada niat buruk dari pengelola fintech ilegal sejak mendirikan layanan tersebut," ujarnya di Jakarta, Rabu (14/11/2018).
Ciri kedua, Hendrikus melanjutkan, pinjaman akan diberikan dengan sangat mudah. Ketika peminjam mengajukan aplikasi, dana bisa dicairkan dalam waktu yang sama.
"Hal itu ditujukan untuk meneror peminjam bila sewaktu-waktu terjadi kredit macet (NPL). Sementara, identitas peneror tak akan diketahui karena pemalsuan pada ciri pertama itu," lanjut Hendrikus.
Sementara, dalam fintech lending legal, tidak semudah itu proses peminjaman dilakukan.
"Ketika mengajukan aplikasi, pasti ditanya tujuannya apa, kerjamu apa, slip gajimu mana?" tanya Hnedrikus.
Ciri ketiga, lanjutnya, tingkat bunga fintech ilegal itu tinggi dan tanpa batas.
"Ia membebankan bunga atau denda per hari, dan itu akan terus diakumulasi, serta tidak ada batasannya. Tentunya, hal tersebut akan merugikan peminjam. Sementara, pada fintech lending legal, batasannya hanya boleh ditagih sampai hari kesembilan puluh dan bunganya hanya boleh sampai 100%," tambahnya.
Keempat, fintech ilegal akan mengakses data-data kontak dan foto-foto pribadi sang peminjam. Sementara, dengan alasan apapun, fintech lending legal dilarang untuk mengakses data-data pribadi dan foto-foto milik peminjam.
"Apapun alasannya, fintech lending legal tidak boleh mengakses data miliki konsumen," ujar Hendrikus dengan tegas.
Kelima, fintech ilegal akan menggunakan data yang ia curi untuk menagih dengan cara meneror peminjamnya. Penagihan tersebut juga dilakukan tanpa mengenal waktu, padahal menurut code of conduct, fintech hanya boleh menagih peminjam ketika jam kerja.
"Kalau ilegal itu bahkan tengah malam pun masih ada yang menagih. Ketika Anda merasa terancam karena teror tersebut dan lapor ke polisi, sulit bagi polisi untuk mencari keberadaan penerornya karena alamatnya tidak jelas," kata Hendrikus.
Lantas, Hendrikus kemudian bertanya, bila publik sudah tahu ancaman dan bahaya dari fintech ilegal, tetapi mereka tetap menggunakan layanannya, sebenarnya apa yang terjadi?
"Setelah kami berdiskusi dengan beberapa pihak yang mengaku dirugikan oleh pihak fintech ilegal, ternyata setelah diteliti, rata-rata mereka melakukan peminjaman ke lebih dari 10 fintech lending ilegal. Bahkan, ada yang meminjam ke 19 fintech ilegal dan ngemplang," papar Hendrikus kepada Warta Ekonomi.
Menurutnya, secara sederhana, artinya peminjamnya berkarakter buruk, begitu pula dengan fintech ilegal yang meminjamkan. Jadi, ia mendefinisikan fintech ilegal sebagai tempat bertemunya kedua pihak berkarakter buruk untuk bertransaksi secara online.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Kumairoh
Tag Terkait: