"Gung, jangan sampai Humas kalah cepat dengan jempol!" pesan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto sewaktu Perhumas beraudiensi.
Speed dan responsif menjadi tantangan tersendiri bagi Humas di era 4.0 ini. Humas yang mestinya menyampaikan sesuatu dengan baik, seringkali kalah dengan jempol. Saat ini, kita sangat mudah menelan informasi, membalas tanpa pikir panjang, atau membagikan pesan hanya dengan sentuhan jempol pada gawai. Padahal apa yang dibaca, diungkapkan, dan dibagikan belum kita cross-check kebenarannya. Implikasinya? bertebaranlah hoaks dan fakenews. Silaturahmi dan persaudaraan menjadi renggang akibat kalimat yang sering menyakitkan hati.
Kita memang dihadapkan dengan ragam pilihan. Ingin menerima atau menolak perubahan. Selayaknya sebuah dikotomi atau dua pilihan yang saling bertentangan, kita bebas memilih. Ingin pergi ke utara atau selatan, positif atau negatif, panas atau dingin, pesimisme atau optimisme, dan masih banyak lagi.
Yang pasti, Heraclitus filsuf Yunani 5.000 SM lalu telah mengingatkan kita: change is the only constant in life. Perubahan terjadi di mana-mana. Era 4.0 membuat dunia bisnis dan komunikasi berubah. Perubahan terjadi dari sektor perbankan, keuangan, marketing, hingga jurnalisme. Munculnya perusahaan tech startup menciptakan dunia kerja secara mobile, lebih terbuka, dan borderless.
Contoh lain, aspirasi anak muda Indonesia pun berubah. Jawaban tipikal ingin menjadi dokter, insinyur, atau polisi sebagai cita-cita, sekarang berubah menjadi YouTuber, gamers, dan influencers. Praktisi humas pun khawatir, apakah peran humas bisa digantikan robot atau artificial intelligent (AI) nantinya?
Jika dulu wartawan harus bekerja di perusahaan media; kini dengan modal follower di media sosial, smartphone untuk menulis, mengambil gambar, serta membuat situs sendiri; mereka bisa menyiarkan kabar apapun. Semua konten bisa dibuat kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja. Sebagai konsekuensi, berita menjadi independen dan tanpa sensor. Sehingga, publik pun bingung mana berita yang kredibel? Mana yang hoaks? Mana yang fakenews? Bahkan Presiden Barack Obama pernah berkata, new media has created a world where everything is true and nothing is true.
Semua ini menjadi tantangan besar bagi dunia Humas Indonesia. Argumen kami, di era 4.0, otomatis kita butuh Humas 4.0.
Pertanyaannya, siapa humas 4.0 itu? Jika semua masyarakat paham akan peran fungsi dari humas maka kita sadar bahwa seluruh rakyat adalah humas. Humas untuk dirinya, untuk keluarganya, untuk organisasinya dan untuk bangsa ini. Langkah selanjutnya adalah humas yang berbicara #IndonesiaBicaraBaik.
Perhumas sudah menginisiasi gerakan #IndonesiaBicaraBaik. Presiden Joko Widodo pun menyambut baik gerakan sosial ini. "Ajakan untuk hijrah. Ajakan untuk hijrah dari pesimisme menuju optimisme, membangkitkan optimisme Indonesia. Ajakan untuk hijrah dari semangat negatif ke semangat positif, dari hoaks ke fakta, dari kemarahan-kemarahan ke kesabaran-kesabaran, dari hal-hal yang buruk-buruk menjadi hal yang baik-baik. Hijrah dari ketertinggalan menuju ke kemajuan," katanya.
#IndonesiaBicaraBaik bukanlah menutup fakta yang ada. Kita sadar masih banyak yang bisa diperbaiki dari berbagai aspek negeri ini. Kritik membangun dibutuhkan agar bisa menuju ke arah yang lebih baik. "Kritik-kritik yang berbasis data. Bukan pembodohan atau kebohongan. Kritik yang mencerdaskan tapi bukan narasi yang menebar pesimisme, narasi yang menakut-nakuti," kata Presiden Jokowi.
Lantas apa syarat untuk menjadi Humas 4.0? Pertama, karakter. Humas 4.0 harus berkarakter adaptif, kreatif, responsif, berwawasan global, punya perencanaan agenda, dan tidak ego sektoral. Intinya, Humas 4.0 mempunyai software yang canggih namun chip inside-nya haruslah merah-putih.
Kedua, kolaborasi. Karena di era digital ini, humas tidak bisa berdiri. Humas harus berkolaborasi sehingga tercipta komunikasi yang strategis. Ketiga, kompetensi. Selain memiliki integritas profesi, Humas 4.0 harus selalu haus dengan pengetahuan, terus belajar!
Di era 4.0 ini, peran fungsi humas adalah strategis. Mereka berada di garda terdepan untuk pencapaian trust dan reputasi organisasi atau lembaganya. Alangkah sayang jika di tengah tantangan era 4.0 ini, kita lebih sibuk mengurusi hal remeh-temeh yang mengganggu kestabilan. Kita butuh Humas 4.0, yang menyiarkan optimisme dan prestasi positif negeri ini. Janganlah kita menutupi kebaikan dengan keburukan. Jangan kita membiarkan kabar baik tenggelam, tertutupi berita jelek dan kalah dengan kecepatan jempol.
Reputasi dan imej Indonesia di panggung global harus tersiarkan dan selalu terjaga. Dan, itu adalah tugas kita. Karena kita adalah humas untuk Indonesia!
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: