PT Bursa Efek Indonesia (BEI) telah merevisi peraturan nomor I-A tentang pencatatan saham dan efek bersifat ekuitas, selain saham yang diterbitkan oleh perusahaan tercatat. Dalam revisi aturan tersebut, BEI menghapus klausula tentang pengaturan keberadaan komisaris dan direktur independen.
Mantan Direktur BEI, Tito Sulistio pun angkat bicara mengenai hal tersebut. Ia mengatakan, dalam OECD survey corporate governance framework di Asia menemukan bahwa negara terkemuka di Asia masih by law or by rule mewajibkan adanya direktur independen dalam perseoan (Singapur, China, Hongkong, negara negara Asean, bahkan Mongolia dan Bangladesh).
"Karenanya menjadi pertanyaan, apakah relaksasi ini bisa berujung pada pandangan berkurangnya perlindungan investor? Belum lagi ditambah penghapusan lock up saham hasil HMETD," katanya, di Jakarta, Jumat (28/12/2018).
"Relaksasi dan menghindari intervensi pasar itu baik. Concern-nya memang karena ingin merelaksasi, semoga tidak menimbulkan persepsi berkurangnya perlindungan investor. Suatu kata ajaib kadang dianggap sakral oleh investor yang bisa bermakna gaib bagi pasar," imbuhnya.
Lebih lanjut Tito memandang jika pasar modal Indonesia harusnya fokus untuk berupaya mengundang investor besar masuk ke Indonesia.
"Relaksasi dan menghindari intervensi adalah baik, terutama untuk calon emiten. Tapi, jangan dilupakan bahwa concern terbesar pasar modal Indonesia adalah mengundang investor besar mau menanamkan dananya di IDX," tegasnya.
Pasalnya, lanjut Tito, rating Indonesia menurut S&P pas di angka Invesment grade BBB, sudah lebih dari 12 tahun sebagai junk country. Lalu, bobot MSCI sebagai patokan besaran dana untuk diinvestasikan juga turun terus karena mengecilnya market cap (terutama dalam US$) dan membesarnya porsi China.
"Jadi, menambah dana yang mau masuk selayaknya tetap menjadi prioritas kebijaksanaan. AUM kita 'baru' Rp700 triliun, bandingkan dengan Singapur yang sudah 30.000 triliun. Belum adanya hampir 3.000 Ultra High Network Individual yang siap investasi di Singapur," ujarnya.
Ia mengapresiasi capaian BEI ketika ekonomi Indonesia relatif stabil, emiten di Bursa bertambah lebih dari 55, dengan pertumbuhan profit 2018 double digit. Namun, persepsi tentang pasar, menurutnya, masih tetap menjadi concern.
"Salah satunya adalah kata 'perlindungan investor'. Kata ini kadang lebih berupa ungkapan. Walaupun demikian harus dihindari kesan 'pengabaian' dari kata ini. Apalagi jika peraturannya masih berlaku di belahan dunia lain karena harus diakui kita masih berjuang mengundang mereka masuk ke pasar kita," terangnya.
Akan tetapi, Tito juga menganggap perubahan peraturan I-A tentang pencatatan saham yang dikeluarkan BEI secara merefleksikan semangat relaksasi itu baik.
"Ketidakterlibatan dalam gerak pasar (menjauhi intervensi) dan yang ketiga mengikuti peraturan listing yang telah berlaku umum di belahan dunia lain, juga tercermin pada penghapusan nilai nominal dan penghapusan kewajiban dokumen permohonan berbentuk hard copy," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: