KPK Jerat 26 Kepala Daerah, 2018 Jadi Tahun 'Horor' buat Gubernur hingga Bupati? (2)
Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, Direktorat Pencegahan KPK sudah mendampingi 34 provinsi dan 542 kabupaten/kota di Indonesia untuk mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan.
Kemajuan (progress) dari pendampingan tersebut dapat dilihat di laman korsupgah.kpk.go.id yang berisi capaian sejumlah area intervensi yaitu perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), kapabilitas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN), Dana Desa dan Optimalisasi Pendapatan Daerah.
Dari data di laman tersebut dapat diketahui bahwa di daerah-daerah yang kepala daerah dan anggota DPRD-nya menjadi tersangka di KPK, sistem perencanaan dan penganggaran APBD-nya punya skor buruk misalnya dalam "progress" integrasi perencanaan dengan penganggaran di Pemerintah Provinsi Sumut hanya 18 persen, Pemprov Jambi 17 persen dan Pemerintah Kota Malang 23 persen.
"Artinya di daerah-daerah tersebut antara usulan proyek dari masyarakat dengan Rancangan APBD tidak 'nyambung' secara sistem, hal-hal inilah yang membuat DPRD menyelipkan proyek pribadi atau bahkan meminta uang ketok," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan.
Padahal bila sudah terintegrasi gubernurnya pasti "PD" (percaya diri) karena transparan dan banyak yang membantau sehingga tidak akan ada lagi permintaan uang ketok atau menitip anggaran dari anggota parlemen.
Sedangkan daerah-daerah yang para pemimpinnya tertangkap menerima suap terkait proyek pengadaan juga tidak maksimal untuk meningkatkan sistem pengadaan barang dan jasanya. Misalnya kabupaten Hulu Sungai Tengah, kemajuan sistem pengadaan barang dan jasanya baru 48 persen dengan kemajuan terkecil adalah kematangan Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang hanya 31 persen.
Selanjutnya kabupaten Labuhan Batu kemajuan sistem pengadaan barang dan jasanya hanya 45 persen; kabupaten Ngada 48 persen; kabupaten Buton Selatan bahkan kematangan ULP hanya 20 persen dan standar Sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) hanya 18 persen; kabupaten Bener Meriah sistem pengadaan barang dan jasanya 44 persen; kabupaten Kebumen standar LPSE hanya 31 persen bahkan perangkat pendukung 0 persen.
Sementara bagi daerah yang kepada daerahnya bermasalah soal izin misalnya kabupaten Jombang, data KPK menunjukkan integrasi online single submission (OSS) untuk izin usaha dan penerapan e-signature adalah 0 persen.
Kabupaten Bekasi mencatat tidak ada "progress" (0 persen) untuk 6 sub-area perizinan, artinya tidak ada integrasi dengan aplikasi OSS; tidak pemenuhan kewajiban pemohon perizinan yang berasal dari direktorat jenderal pajak, Badan Pendapatan Daerah serta BPJS Ketenagakerjaan; tidak ada pendelegasian kewenangan ke DPMTSP; tidak ada penerapan e-signature; tidak ada rekomendasi teknis dari dinas teknis yang difasilitasi oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dan tidak ada kanal pengaduan.
Tidak heran KPK mencokok Bupati Bekasi beserta empat anak buahnya yaitu kepala dinas Tata Ruang Bekasi, kepala Dinas PUPR Bekasi, kepala dinas pemadam kebakaran bekas dan kepala dinas DPMPTSP karena pemerintah kabupaten tersebut tidak punya sistem perizinan yang memadai sehingga memungkinkan swasta melakukan praktik suap kepada kepala daerah dan para pembantunya.
Sedangkan Bupati Cirebon yang menjadi tersangka dugaan penerimaan suap terkait mutasi, dari data pencegahan KPK tampak jelas bahwa rotasi dan promosi jabatan di pemkab Cirebon juga tidak punya manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) yang baik.
Kabupaten Cirebon tidak punya kemajuan (0 persen) untuk lima bidang yaitu untuk implementasi tunjangan penghasilan pegawai (TPP) skor evaluasi jabatan telah selesai divalidasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, implementasi TPP terselesaikannya seluruh skor evaluasi jabatan, kepatuhan pelaporan gratifikasi, terbentuknya unit pengendali gratifikasi, tersedianya regulasi pengendalian gratifikasi.
Dapat dikatakan, pantas saja Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra menerima suap dari para bawahannya yang ingin mendapat posisi "enak" karena tidak ada sistem manajemen mutasi-rotasi ASN di kabupaten tersebut, khususnya mengenai gratifikasi.
Tiga bidang tersebut: pengadaan barang dan jasa, izin dan rotasi-mutasi ASN tampak jadi sasaran empuk para kepala daerah maupun pejabat neara lain pada tahun ini bila tidak ada perbaikan sistem. Lantas bagaimana? Masih mengatakan bahwa para tersangka dugaan korupsi KPK "hanya apes?".
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat