Sejumlah maskapai mengungkapkan sulitnya kondisi penerbangan dengan biaya operasional yang terus naik, terutama harga avtur dan nilai tukar rupiah yang terus melemah.
Direktur Utama Citilink Indonesia Juliandra Nurtjahjo dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, mengatakan alokasi untuk biaya operasional sebagian besar dalam bentuk dolar AS, sementara pendapatan dalam bentuk rupiah.
"Kemarin itu 2018, Citilink sangat berat dalam menciptakan keuntungan," katanya.
Dia menjelaskan harga rata-rata avtur sepanjang 2017 itu 55,1 sen dolar AS per liter dan melonjak 19 persen menjadi 65,4 sen per dolar AS per liter sepanjang 2018.
"Kenaikan satu sen per liter itu akan menambah biaya operasi 4,7 juta dolar AS satu tahun penuh," ujarnya.
Kemudian, lanjut dia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah menyebabkan biaya operasional semakin membengkak.
"Setiap penurunan Rp100, karena kurs (rupiah) melemah, dia akan mengurangi pendapatan kami setahun penuh 5,3 juta dolar AS," katanya.
Juliandra mengatakan pembengkakan biaya operasional akibat kenaikan harga avtur dan pelemahan nilai tukar rupiah, sebesar 13,5 persen atau 102 juta dolar AS. "Ini cukup berat," katanya.
Karena itu, dia mengeluarkan kebijakan agar harga tiket tidak berada di dasar tarif batas dan menghilangkan diskon untuk memperbaiki kondisi keuangan perusahaan.
"Buat LCC (low cost carrier), kami harus tetap bertahan, inovasinya semakin lama harus makin tinggi. Bagaimana kami bisa bertahan, kami kurangi alokasi harga di bawah, kemudian makin harga di atas. Bukan menaikan harga tapi diskonnya yang kita kurangi," katanya.
Upaya lainnya, lanjut dia, menarik pendapatan dari nontiket, seperti menyediakan ruang di kabin untuk iklan.
"Itu adalah tambahan pendapatan kita, ada lagi inovasi jualan makanan," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: