Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Perang Subsidi OVO dan Go-Pay Masih Berlanjut, Siapa Pemenangnya?

Perang Subsidi OVO dan Go-Pay Masih Berlanjut, Siapa Pemenangnya? Kredit Foto: OVO
Warta Ekonomi, Jakarta -

Siapa yang tak tertarik dengan penawaran cashback, diskon, dan berbagai promosi dari OVO (mobile payment yang didukung Tokopedia dan Grab) ataupun Go-Pay (mobile payment yang didukung Go-Jek)?

Pamflet penawaran cashback ataupun diskon 50%, 40%, dan 20% dari keduanya sangat mudah kita temukan dimana pun, terutama di ritel-ritel dalam maupun luar mall.

Kedua perusahaan payment tersebut masih terus berperang untuk dapat mengakuisisi pelanggan. Kompetisi yang cukup besar ini tentu disambut gembira oleh konsumen Indonesia. Mereka berbondong-bondong untuk berbelanja dan mendapatkan cashback atau diskon. Kini, mengisi saldo GO-PAY atau OVO menjadi hal utama yang harus dilakukan sebelum mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan.

Entah sampai kapan perang di industri pembayaran mobile payment tersebut akan berakhir. Keduanya nampak sedang menghabiskan persediaan uang masing-masing, yang entah berapa besaran subsidinya. Apakah strategi yang dilakukan keduanya merupakan persaingan yang sehat?

Seperti dilansir dari Techinasia.com, Selasa (22/1/2019), jika besaran subsidinya berkisar Rp4.000-10.000 untuk tiap order, maka Go-Jek yang mengklaim telah memproses 3 juta order per hari mengeluarkan subsidi hingga Rp15 miliar per hari, atau sekitar Rp5,1 triliun per tahun. Meski kedua perusahaan mampu menggalang investasi bernilai triliunan rupiah, nilai subsidi ini tetap saja merupakan biaya besar. Jika mereka rela membakar uang sedemikian banyak untuk mendapatkan pelanggan, mestinya ada potensi sangat menarik yang ingin mereka kejar di akhirnya.

Ada yang memprediksi bahwa Go-Jek dan Grab akan terus berperang hingga bujet salah satu pihak habis. Kemudian yang bertahan dan punya lebih banyak uang akan perlahan mengurangi subsidinya hingga berada di harga yang sehat. Namun jika dilihat, keduanya merupakan perusahaan yang besar, karena mampu menanggung burn rate (biaya operasional sebelum perusahaan memperoleh laba) setengah miliar dolar (sekitar Rp7 triliun). Perang subsidi tersebut mungkin akan berakhir jika penggunaan uang digital semakin meluas.

Namun jika yang menjadi target dari keduanya adalah mengubah semua transaksi menjadi digital, maka mereka mampu mewujudkannya hanya dengan membuat pelanggan semakin bergantung dengan keberadaan uang digital. Tetapi kembali lagi, kita hanya bisa melihat hasilnya di akhir peperangan kedua perusahaan tersebut.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ning Rahayu
Editor: Kumairoh

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: