Siapa yang menyangka, perusahaan segede Amazon dikabarkan membayar nihil alias nol dolar Amerika Serikat (AS) ke pajak pemerintah federal. Padahal, perusahaan besutan Jeff Bezos ini menikmati lonjakan profit sebelum pajak sebesar US$5,6 miliar pada 2017 menjadi US$11,2 miliar pada 2018.
Kabar tak sedap ini dilansir Institute on Taxation and Economic Policy (ITEP) sebagaimana dikutip Statista.com, Selasa (19/2/2019). Kabar ini memunculkan pertanyaan serius terkait perilaku dan kepatuhan bayar pajak perusahaan tech giant sekelas Amazon.
Baca Juga: Amazon Jadikan Indonesia Target Ekspansi Kedua, dan Berencana Investasi Hingga Rp14 Triliun
Presiden AS, Donald Trump pun sampai melontarkan sindiran ke Amazon sebagai master of tax avoidance karena perilaku yang kurang sedap dalam hal kepatuhan membayar pajak.
Bahkan, seorang senator AS, Bernie Sanders ikut memberi sentilan ke Amazon terkait laporan ITEP. Ia menulis di Twitter-nya, "Jika Anda bayar US$119 untuk annual fee menjadi Prime Member Amazon, Anda bayar berlebih ke Amazon ketimbang perusahaan bayar pajak."
Di dataran Eropa pun sepak terjang Amazon jadi sorotan. Di Inggris, Amazon ramai jadi bahan pemberitaan media di sana karena diduga melakukan praktik penghindaran bayar pajak (tax avoidance). Nilai penjualan Amazon di negara itu sebesar £1,45 miliar pada 2016 naik jadi £1,99 miliar pada 2017 dengan tingkat laba £24 juta menjadi £72 juta. Tapi, pajak yang dibayar hanya £1,7 juta.
Pajak Unicorn Belum Tersentuh?
Kabar dari negeri seberang ini berpotensi bikin galau Menteri Keuangan Sri Mulyani. Maklumlah, urusan mencari duit guna membiayai roda pemerintahan melalui mekanisme pajak menjadi tanggung jawabnya.
Dalam satu pertemuan dengan para pelaku usaha yang terhimpun dalam Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Sri Mulyani mengaku tidak habis pikir, kenapa anak generasi milenial lebih doyan bikin perusahaan rintisan (startup) ketimbang membangun usaha sektor riil.
Ia gundah setelah mendengar cerita Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan, Benny Soetrisno yang mengungkapkan bahwa anaknya enggan untuk melanjutkan usahanya. Lantaran, ingin membangun bisnis startup.
"Saya sedih sewaktu Pak Benny bilang, anaknya enggak mau melanjutkan bisnisnya. Itu menggambarkan, lebih enak bisnis online. Pengen jadi unicorn ya, yang online-online, itu yang jadi persoalan," ujar Sri Mulyani saat pertemuan dengan sejumlah pengusaha di Jakarta, Senin (18/2/2019).
Baca Juga: Apa Itu Unicorn?
Sampai di sini, memang menjadi pertanyaan, apa 'persoalan yang dimaksud Sri Mulyani dari pernyataannya. Apakah hal ini terkait kegalauan lembaga yang dipimpinnya dalam mengutip setoran pajak terhadap para startup yang sudah berstatus unicorn.
Karena secara kasat mata, jauh lebih mudah bagi Ditjen Pajak untuk mengutip pajak ke perusahaan yang bergerak di sektor riil ketimbang pelaku usaha startup. Harap maklum, terkadang payung hukumnya saja belum ada seperti untuk perusahaan fintech.
Seperti diketahui di Indonesia ada empat startup berstatus unicorn, yakni Go-Jek, Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia. Terkait unicorn ini sempat menjadi materi debat capres, yakni bagaimana membangun infrastruktur unicorn di dalam negeri.
Kemenkeu mengaku siap memberi sokongan fiskal terhadap startup agar melejit menjadi unicorn-unicorn baru dengan nilai valuasi mencapai US$1 miliar. Rumusan ini yang masih digodok Kemenkeu agar terbangun ekosistem yang kondusif bagi startup.
Namun pada sisi lain, setelah para startup tersebut berstatus unicorn dan decacorn (valuasi di atas US$10 miliar), urusan kewajiban membayar pajak ke negara ini masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai. Di negara maju seperti AS dan Inggris saja masih kedodoran menguber Amazon agar terbuka dalam urusan perpajakan.
Sekarang ambil contoh riil di dalam negeri. Pelaku usaha agen travel yang tergabung dalam Asosiasi Industri Tour dan Travel Indonesia (Asita) kewalahan bersaing dengan Traveloka dan Agoda. Pasalnya, anggota Asita membayar pajak, sedangkan dua startup tersebut belum tersentuh petugas pajak.
Baca Juga: Apa Benar Unicorn Indonesia Dikuasai Asing?
Kenapa belum tersentuh? Pada prinsipnya, dalam dunia perpajakan, semua yang menambah penghasilan harus kena PPh. Misalnya, Traveloka dan Agoda, berapa hotel membayar mereka, nah fee ini yang mestinya dikejar pajaknya. Tapi, sampai saat ini masih belum tersentuh alias sulit.
Sekali lagi, bisa jadi hal-hal seperti ini yang bikin Sri Mulyani di satu sisi begitu bangga akan eksistensi unicorn asal Indonesia, tapi pada sisi lain, ia mesti menarik nafas bagaimana memberlakukan asas keadilan (fairness) dalam hal perpajakan antara pelaku usaha sektor riil dan startup yang sudah berstatus unicorn dan decacorn.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Rosmayanti