Rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu Provinsi Jawa Tengah kepada Kementerian Dalam Negeri agar memberikan sanksi bagi 35 kepala daerah yang mengikuti deklarasi dukungan pasangan calon presiden Joko Widodo-Amin Ma'ruf, dinilai keliru.
"Bukan ranah Bawaslu untuk memutuskan sesuatu menggunakan dasar Undang-Undang Pemerintah Daerah, harusnya UU Pemilu, ranahnya sudah beda," kata pengamat politik dari Universitas Negeri Sebelas Maret Supriyadi saat dihubungi melalui telepon dari Semarang, Minggu (24/2/2019).
Menurut dia, Bawaslu Jateng cukup mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan keberadaan 35 kepala daerah, termasuk Gubernur Jatemg Ganjar Pranowo harus dilihat dalam konteks status kehadirannya.
"Dalam konteks apa mereka bicara atau dalam konteks apa dia datang atau menghadiri pertemuan tersebut," ujarnya.
Di sisi lain, lanjut dia, Bawaslu Jateng cukup memutuskan apakah ada Undang-Undang Pemilu yang dilanggar terkait deklarasi dukungan 35 kepala daerah itu, dan jika kemudian diputuskan bahwa tidak ada pelanggaran maka cukup sampai di situ, tidak perlu merambah ranah lain, misalnya, Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
"Saya lebih melihat sesungguhnya bagaimana Bawaslu ini harus mendasarkan diri atas peraturan perundangan yang berlaku untuk pemilu, jadi persoalan rekomendasi ke Kemendagri itu sudah ranah lain lagi," tuturnya.
Jika selanjutnya ada rekomendasi yang ditujukan ke Kemendagri, maka keputusan adanya pelanggaran dan sanksi menjadi tanggung jawab Mendagri.
"Tapi biasanya begini, pejabat kepala daerah akan mendapat sanksi atas dasar konteks pekerjaannya, Mendagri akan memberi teguran," ujarnya.
Sebelumnya, Bawaslu Jateng merekomendasikan pemberian sanksi kepada 35 kepala daerah yang mengikuti deklarasi dukungan pasangan calon presiden Joko Widodo-Amin Ma'ruf karena dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
"Kami merekomendasikan Kementerian Dalam Negeri agar memberikan sanksi kepada 35 kepala daerah di Provinsi Jateng, termasuk Gubernur Ganjar Pranowo," kata Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran Bawaslu Jateng Sri Wahyu Ananingsih.
Berdasarkan hasil investigasi, klarifikasi, pengumpulan data dan bukti, serta keterangan para saksi, Bawaslu Jateng tidak menemukan pelanggaran administrasi sebagai kepala daerah, namun dukungan yang mengatasnamakan kepala daerah se-Jateng menjadi pelanggaran etika.
Jabatan kepala daerah, kata dia, adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah dan oleh karena itu sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah nama jabatan kepala daerah seharusnya hanya digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan daerah semata, serta tidak untuk kepentingan politik salah satu golongan atau kelompok.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajar Sulaiman