Perkembangan teknologi dan perangkat lunak telah mengubah wajah bisnis di era digital ini. Ke depan akan semakin banyak perubahan yang terjadi secara dramatis. Pelaku bisnis dituntut untuk beradaptasi dan berinovasi agar tidak terlindas oleh perubahan yang terjadi. Kini, kita hidup di era yang mewajibkan inovasi.
Tapi, tahukah Anda bahwa inovasi ternyata menciptakan sebuah paradoks? Bayangkan, sebuah korporasi besar yang sangat mapan memandang perubahan di sekitar mereka. Biasanya perusahaan mapan tersebut akan memiliki pola pikir seperti ini: mereka merasa tidak perlu berubah karena sistem mereka sudah teruji puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun.
Salah satu ikonik dari kasus paradoks inovasi adalah perusahaan yang didirikan tahun 1892: Kodak. Tim riset dan pengembangan (R&D) perusahaan ini membuat inovasi dengan menciptakan teknologi fotografi digital. Akan tetapi, mereka tidak total dan ragu-ragu mengimplementasikan teknologi tersebut. Hal itu karena mereka sudah ratusan tahun sukses dengan teknologi lama. Kodak juga khawatir teknologi baru tersebut akan mengganggu bisnis utama mereka.
Yang terjadi adalah, bukan hanya Kodak yang bisa membuat teknologi tersebut. Ketika era kamera digital datang perusahaan yang didirikan oleh George Eastman dan Henry Strong ini gagap melakukan perubahan. Alhasil, pada tahun 2012 perusahaan ini mengajukan pailit.
Baca Juga: Era Disrupsi, Era Serangan dari ‘Tetangga Baru’
Jadi, bisa disebut bahwa paradoks inovasi adalah paradoks yang biasa dialami oleh perusahaan mapan ketika ingin melakukan inovasi bahwa mereka merasa penemuan baru tersebut akan mengganggu bisnis inti (core business) mereka. Paradoks inovasi juga bisa disebut bahwa inovasi akan mengganggu dan mendisrupsi bisnis lama.
Untuk lebih memahami dan memperjelas konsep paradoks inovasi, silakan simak poin-poin berikut ini
1. Perusahaan Mapan Terjebak Kesuksesan Masa Lalu
Perusahaan besar cenderung sulit melakukan inovasi atau kemampuan mereka untuk berinovasi sangat terbatas. Hal itu karena perusahaan besar yang sudah sukses sering terjebak dengan kesuksesan di masa lalu.
Pada tahun 2007 CEO Microsoft kala itu, Steve Ballmer, merasa tidak terkesan dan cenderung mencela Apple yang memperkenalkan iPhone di ajang MacWorld. Ia mengatakan: tak mungkin iPhone bisa laku di pasaran. Mustahil.
Yang terjadi kemudian adalah, pada tahun 2014 Steve Ballmer mengakui dirinya melakukan kesalahan besar karena tidak memasuki bisnis perangkat keras ponsel sesegera mungkin. Ia mengatakan:
"Ketika perusahaan Anda adalah Microsoft dan formula selama ini berhasil. Formula yang kami kerjakan sukses. Jadi bagi kami pada saat itu, rasanya seperti berpindah agama,"
Lantas, pada tahun 2015 Microsoft melaporkan kerugian bersih kuartalan yang sangat besar. Kerugian ini diakibatkan oleh perkiraan senilai US$7,5 miliar yang salah untuk pembelian unit ponsel Nokia. Kesalahan asumsi tersebut memperlihatkan kesulitan yang dihadapi oleh Microsoft dalam bisnis ponsel pintar.
2. Inovasi Akan Mendisrupsi Bisnis Inti
Seperti sudah disampaikan sebelumnya, inovasi memiliki paradoks karena berpotensi untuk mendisrupsi bisnis inti. Dalam jangka pendek, perusahaan yang mengabaikan inovasi dan fokus kepada bisnis inti yang menghasilkan keuntungan besar memang bisa diterima. Akan tetapi, bisnis tersebut tidak berkelanjutan jika ditinjau dalam jangka panjang. Kisah Kodak adalah contoh paling tepat untuk mengilustrasikan kondisi ini.
Inovasi seharusnya menjadi bisnis-bisnis lain di luar bisnis inti. Perusahaan tidak boleh lagi berpikir dan bertindak seolah-olah mereka adalah monolitik tunggal dengan satu model bisnis. Perusahaan besar justru harus membangun sebuah ekosistem di dalam bisnis mereka.
Perusahaan era digital harus menyelaraskan antara bisnis inti yang menjadi andalan dengan bisnis lain yang memiliki potensi memberi keuntungan besar di masa depan.
Analogi untuk menggambarkan hal ini adalah kerajaan besar yang menyiapkan kapal-kapal dengan tim khusus untuk menjelajah benua guna mencari tambang emas. Memang, ada risiko beberapa kapal karam dan tidak berhasil menemukan tambang emas. Atau ada risiko pula kapal yang menemukan tambang emas enggan pulang dan bahkan mendirikan kerajaan sendiri di benua lain.
Akan tetapi, risiko itu lebih baik diambil daripada kerajaan besar berdiam diri dan hanya menunggu waktu: kerajaan besar lain menyerang dan meruntuhkan kerajaan mereka.
Baca Juga: Hambatan Para CEO Kembangkan Bisnis di Era Disrupsi
3. Mendisupsi atau Terdisrupsi?
Saat ini para pemimpin perusahaan dan pelaku bisnis hanya memiliki dua pilihan: mendisrupsi diri sendiri atau terdisrupsi oleh orang lain?
Pemimpin perusahaan tidak boleh lagi terjebak oleh kejayaan masa lalu. Mereka harus sadar bahwa perubahan-perubahan akan berdampak terhadap bisnis mereka. Melakukan penyangkalan atau pura-pura tidak melihat perubahan bukan pilihan tepat untuk diambil karena taruhannya sangat besar: kelangsungan hidup perusahaan yang mereka pimpin.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: