Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 secara resmi meluncurkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) pada 2016 lalu. Melalui SNKI, pemerintah membentuk Dewan Nasional Keuangan Inklusif yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Peluncuran SNKI ini dilatarbelakangi oleh masih rendahnya tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia. Data survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2016 mencatat tingkat pemahaman keuangan (literasi) masyarakat Indonesia baru mencapai 29,66%. Sementara itu, tingkat penggunaan atau masyarakat yang memiliki akses terhadap layanan dan jasa keuangan (inklusi keuangan) baru mencapai 67,82%.
Laporan global berjudul: A Progressive Approach to Financial Inclusion dari MasterCard pada 2015 menyebutkan Indonesia, Bangladesh, dan India masih berada di tahap awal pada perkembangan inklusi keuangan. Sedangkan Jepang, sebanyak 98% masyarakat dewasa telah memiliki akses terhadap produk dan jasa keuangan (kartu, aplikasi, dll) dan 14% transaksi pembelian dilakukan secara non-tunai.
Kemudian, Singapura adalah pasar dengan perkembangan tercepat di antara negara-negara yang disurvei. Tidak membutuhkan waktu lama untuk Singapura berada di tahap most advanced.
Untuk itu, pemerintah dalam SNKI menargetkan tingkat literasi dan inklusi keuangan masing-masing dapat mencapai 35% dan 75% pada tahun 2019 ini. Dalam mencapai itu SNKI merumuskan enam pilar dengan melibatkan banyak kementerian, lembaga, dan otoritas terkait seperti Bank Indonesia, OJK, Kementerian Keuangan, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dan lain-lain.
Baca Juga: Literasi Keuangan Pengaruhi Bonus Demografi Indonesia
Keenam pilar tersebut yaitu edukasi keuangan, fasilitas keuangan publik, pemetaan informasi keuangan, peraturan yang mendukung, fasilitas intermediasi dan saluran distribusi, serta perlindungan konsumen.
"Tugas juga sudah dibagi antar-kementerian, antar-institusi pemerintah, untuk setiap pilar. Jadi sudah dibagi-bagi, tapi saya minta tetap semua bersinergi dalam pelaksanaannya. Turun langsung ke lapangan, lihat hambatannya, dan langsung selesaikan, carikan solusinya," tegas Presiden Jokowi dalam peluncuran SNKI seperti dikutip laman Kemenkeu.
Tapi pernah tidak terpikir di benak kita kenapa Indonesia bernafsu ingin segera meningkatkan inklusi keuangan? Bahkan sampai menerbitkan Perpres soal SNKI. Memang seberapa penting sih peran inklusi keuangan bagi Indonesia dan masyarakatnya?
Menggenjot Perekonomian
Istilah financial inclusion atau keuangan inklusif menjadi tren paska krisis 2008 terutama didasari dampak krisis kepada kelompok in the bottom of the pyramid (pendapatan rendah dan tidak teratur, tinggal di daerah terpencil, orang cacat, buruh yang tidak mempunyai dokumen identitas legal, dan masyarakat pinggiran) yang umumnya unbanked yang tercatat sangat tinggi di luar negara maju.
Dari istilah itu dapat ditarik kesimpulan bahwa akses keuangan amat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Pasalnya, rata-rata masyarakat miskin, pendapatan rendah, dan tinggal di daerah terpencil tidak memiliki akses keuangan (unbanked).
Makanya inklusi keuangan dianggap mampu mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, mengurangi ketimpangan, dan kemiskinan. Hal ini seperti diutarakan Presiden World Bank Group Jim Yong Kim saat meluncurkan Database Global Findex yang dipublikasikan pada 2018.
"Inklusi keuangan memungkinkan orang menabung untuk kebutuhan keluarga, meminjam untuk mendukung bisnis, atau membangun bantalan terhadap keadaan darurat. Memiliki akses ke layanan keuangan merupakan langkah penting untuk mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan," kata Jim.
Baca Juga: Pemerintah Targetkan Inklusi Keuangan Capai 75% di Akhir 2019
Studi Bank Dunia juga menunjukkan, peningkatan fasilitas sistem inklusi keuangan sebesar 1% bisa menaikkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) per kapita sebesar 0,03 persen. Pertumbuhan ekonomi ini selanjutnya menghasilkan pertumbuhan lapangan kerja baru.
Kalau imbalannya seperti itu, pantas saja banyak negara saling berlomba menggenjot inklusi keuangan. Bahkan inklusi keuangan telah menjadi isu global dan dibicarakan berbagai organisasi internasional World Bank, G20, OECD, hingga APEC.
Pada G20 Pittsbugh Summit 2009, anggota G20 sepakat perlunya peningkatan akses keuangan bagi kelompok ini yang dipertegas pada Toronto Summit tahun 2010, dengan dikeluarkannya 9 Principles for Innovative Financial Inclusion sebagai pedoman pengembangan keuangan inklusif. Prinsip tersebut adalah leadership, diversity, innovation, protection, empowerment, cooperation, knowledge, proportionality, dan framework.
Sejak itu, banyak fora-fora internasional yang memfokuskan kegiatannya pada keuangan inklusif seperti CGAP, World Bank, APEC, Asian Development Bank (ADB), Alliance for Financial Inclusion (AFI), termasuk standard body seperti BIS dan Financial Action Task Force (FATF), termasuk negara berkembang dan Indonesia.
Di Indonesia sendiri, sejumlah program telah dilakukan OJK dan BI. Yang paling fenomenal adalah Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai). Melalui program ini, warung kelontong, toko pulsa, hingga bidan di pelosok desa dapat menjadi agen kantor bank.
Sampai Juni 2018, tercatat jumlah nominal tabungan yang terkumpul dalam program laku pandai Rp1,69 miliar. Tabungan ini didapat dari 20,1 juta rekening dan dari 762,2 ribu agen laku pandai. Agen laku pandai ini tersebar di 508 dari 514 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.
Kemudian OJK juga mengembangkan program KUR Klaster yang merupakan penyaluran kredit yang berasal dari perbankan kepada pelaku usaha mikro, petani maupun nelayan, yang disertai dengan pendampingan, serta pemasaran produk yang sudah disiapkan oleh mitra usaha dari perusahaan BUMN, BUMDes, BUMADes, maupun swasta.
Dalam pelaksanaannya, KUR Klaster melibatkan pemerintah daerah untuk memberikan pelatihan kepada calon penerima KUR. Selain itu, OJK juga menginisiasi hadirnya Bank Wakaf Mikro (BWM) yang menyalurkan pembiayaan tanpa agunan maksimal sebesar Rp1 juta dengan margin setara hanya 3% per tahun juga didukung dengan program pemberdayaan dan pendampingan bagi calon penerima kredit.
Periode Mei 2018, sudah ada 20 BWM yang berdiri dan beroperasi di lingkungan pondok pesantren yang tersebar di berbagai wilayah seperti Cirebon, Ciamis, Cilacap, Jombang, Kediri, Klaten, Kudus, Lebak, Purwokerto, Serang, Surabaya, dan juga Yogyakarta. Saat ini, OJK tengah menelaah 20 calon BWM baru yang ada dalam daftar potensi operasional. Jika lolos, total akan ada 40 BWM yang beroperasi sepanjang 2018. Sementara pemerintah sendiri telah mengembangkan bantuan sosial kepada masyarakat miskin sebagai salah satu pilar SNKI.
Baca Juga: Pengembangan Fintech Bidik Inklusi Keuangan
Beruntung, perkembangan teknologi informasi, dan internet begitu pesat karena secara tidak langsung hal itu membantu peningkatan inklusi keuangan yang begitu cepat. Menjawab itu, OJK menghadirkan regulasi financial technology (fintech) melalui POJK Nomor 77/2016 tentang P2P Lending. Dengan aturan ini, perusahaan fintech bisa menyasar nasabah yang belum tersentuh institusi perbankan dan memberikan penyaluran pembiayaan dengan nilai kredit maksimal sebesar Rp2 miliar.
Melalui fintech ini, diharapkan masyarakat yang belum tersentuh akses perbankan termasuk pengusaha UMKM dan UKM, dapat dibina dan diberikan pembiayaan guna mengembangkan bisnis dan diharapkan suatu saat dapat naik kelas menjadi bankable. Ke depannya, OJK berharap fintech dapat berkolaborasi dengan industri perbankan melalui pembentukan anak usaha seperti perusahaan modal ventura.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: