Debat Calon Wakil Presiden pada Minggu 17 Maret 2019, yang mengangkat isu tentang ketenagakerjaan, mendapat pandangan yang berbeda dari sejumlah pihak. Seperti klaim petahana, yang menyatakan terjadi penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT). Klaim ini harus dikaji lebih mendalam tentang kondisi yang sebenarnya terjadi.
Center of Reform on Economics (CORE Indonesia) memandang upaya penciptaan lapangan kerja, khususnya di sektor formal, harus menjadi fokus bagi siapa pun yang akan memimpin dalam lima tahun ke depan. Sebab, melihat data yang ada, tingkat pengangguran terbuka memang menunjukkan kecenderungan menurun dalam beberapa tahun terakhir hingga mencapai 5,34% pada 2018. Namun demikian, sebagian besar pengangguran yang terserap tersebut masuk ke sektor informal yang pada 2018 jumlahnya mencapai 70,49 juta jiwa atau 57% dari total jumlah tenaga kerja di Indonesia.
Persentase itu mengalami kenaikan signifikan dibandingkan dengan 2014. Perbandingan tenaga kerja informal dan formal adalah 53%:47%. Selama periode 2015-2018, rata-rata pertumbuhan tenaga kerja sektor informal mencapai 4%, sedangkan rata-rata pertumbuhan tenaga kerja sektor formal hanya sebesar 1%.
Berbeda dengan klaim kubu petahana pada debat kemarin, Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, mengatakan, kondisi tersebut justru menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja di sektor formal yang berkualitas, yang akhirnya mendorong para pencari kerja untuk mencari-cari peluang kerja di sektor informal. Padahal, pekerjaan di sektor informal memiliki sejumlah kekurangan, baik dilihat dari tingkat upah, stabilitas pendapatan, perlindungan kerja, jaminan hari tua maupun kontribusi terhadap pendapatan negara melalui pajak.
Baca Juga: Debat III: Ma'ruf Tampil Tak Terduga, Sandi Semua Masalah Ada di Lapangan Pekerjaan
"Pertumbuhan lapangan kerja di sektor informal pun sebagian besar didorong oleh faktor perkembangan teknologi informasi dan arus digitalisasi yang pesat yang menciptakan berbagai peluang berusaha melalui e-dagang (e-commerce) atau pun layanan jasa transportasi online," ungkap Mohammad Faisal melalui siaran pers yang diterima Warta Ekonomi, Senin (18/3/2019).
Faisal melanjutkan, terbatasnya lapangan kerja di sektor formal menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya pengangguran muda (youth unemployment), khususnya yang berpendidikan menengah atas, yang terjadi dalam lima tahun terakhir. Jumlah pengangguran terbuka lulusan SMA dan SMK pada 2018 masing-masing mencapai 1,93 juta jiwa dan 1,73 juta jiwa, menjadi kontributor terbesar (52%) terhadap total pengangguran di Indonesia yang jumlahnya 7 juta jiwa.
Kurangnya kecocokan antara kualitas tenaga kerja yang dipasok oleh lembaga pendidikan dengan kebutuhan industri (link and match) sebagaimana yang diangkat oleh kubu penantang dalam debat kemarin, menurutnya, memang menjadi salah satu penyebabnya. Sebenarnya pemerintah selama ini telah membuat berbagai program pelatihan dan pendidikan vokasi. Namun, program tersebut pada kenyataannya belum efektif mengurangi tingkat pengangguran pendidikan SMK.
"Dengan demikian, program ini perlu dievaluasi dan dibenahi agar benar-benar efektif menyerap pengangguran, khususnya dari lulusan SMK yang masih terus meningkat," ujar Faisal.
Selain itu, CORE juga memandang bahwa kondisi tersebut disebabkan oleh kurangnya pasokan lapangan kerja formal itu sendiri secara keseluruhan. Orang-orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi umumnya akan mencari jenis pekerjaan formal yang lebih baik dari sisi tingkat dan stabilitas pendapatan, perlindungan kerja, maupun jaminan hari tua. Sementara mereka yang berpendidikan rendah umumnya lebih mudah terserap sebagai tenaga kerja di sektor informal saat tidak tersedia lapangan kerja formal bagi mereka.
Baca Juga: 61% Pengangguran dari Kaum Muda, Sandi Beri Solusinya
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Rosmayanti