Siapa Bilang Pinjaman Online Lebih Berisiko Dibanding Perbankan?
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja merilis sebuah data perkembangan industri layanan keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech) khususnya di segmen peer to peer (P2P) lending dalam beberapa waktu terakhir.
Dari data tersebut, sebuah fakta yang cukup mengkhawatirkan menyeruak, yaitu terkait meningkatnya rasio pinjaman bermasalah (Non Performing Loan/NPL) hingga menyentuh level 3,18 persen pada Februari 2019 lalu. Porsi NPL itu jauh melonjak dari semula 1,5 persen saja pada akhir tahun 2018 dan mulai bergerak naik ke level 2 persen pada Januari 2019 lalu.
“Nilai (NPL) sebesar 3,18 itu Saya pikir cukup tinggi ya. Ditambah dengan rasio kredit kurang lancar yang sebesar 3,17, maka jika diparalelkan dengan perbankan jumlah keduanya mencapai 6,35 persen. Ini jelas lebih tinggi jauh dibanding (NPL) di sektor perbankan,” ujar Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) OJK, Yohannes Santoso, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Di Fase Pertumbuhan Ke-2, LINE Fokus Fintech, AI, dan Blockchain
Berbekal data tersebut di atas, sebagian pihak pun mengkaitkannya dengan karakteristik bisnis P2P Fintech yang dinilai lebih berisiko dibanding jenis pinjaman lewat perbankan lantaran seluruh proses di dalamnya meliputi proses pengajuan, verifikasi dan pencairan pinjaman sepenuhnya mengandalkan sistem otomatis lewat platform digital. Terkait pandangan negatif itu, kalangan P2P Fintech pun menyatakan bantahannya. Salah satu bantahan disampaikan oleh CEO PT Kas Wagon Indonesia, Asri Anjarsari, yang menaungi brand bisnis Cashwagon.
“Intinya kan perbedaan industri kami dengan layanan sejenis seperti di perbankan adalah pemanfaatan teknologinya. Di bank proses penilaian atas kelayakan kreditnya masih dilakukan manual, termasuk survey langsung ke lokasi borrower bersangkutan. Sedangkan kami lebih pakai teknologi, seperti GPS dan lain-lain. Jadi yang beda itu hanya caranya, sedangkan studi kelayakannya, mitigasi risikonya dan semacamnya pasti sama. Di kami juga tentu ada faktor kehati-hatian. Nggak mungkin kan ada industri yang sejak awal sengaja dikonsep tanpa adanya faktor kehati-hatian. Kan nggak mungkin,” tutur Asri, di sela kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) di Panti Asuhan Yos Sudarso, Cilandak, Jakarta.
Pun, posisi NPL P2P Fintech saat ini secara keseluruhan industri menurut Asri juga masih relatif terjaga dengan baik sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Pendapat ini senada dengan pandangan Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) yang menganggap bahwa tren peningkatan LPN di bisnis P2P Fintech adalah satu hal yang wajar terjadi mengingat usia industrinya yang memang relatif masih sangat muda.
Baca Juga: Fintech Ini Kucurkan Kredit ke Subkontraktor Bandara Kulon Progo
Yang perlu dilakukan oleh regulator dan juga para pelaku industri P2P Fintech dalam kacamata Aftech adalah bukan dengan memaksa mempertahankan posisi NPL di level tertentu, namun secara seksama memperhatikan tingkat kesehatan industri secara keseluruhan sembari mempersiapkan langkah-langkah pencegahan agar kemungkinan buruk tidak perlu terjadi.
“Belum lagi soal segmen yang paling banyak ditangani yaitu kalangan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang notabene memang tidak bankable, profil risikonya lebih tinggi, sehingga kemungkinan default sudah pasti juga tinggi. (NPL) Sudah pasti akan naik terus karena level maksimalnya di satu persen. Perbankan yang melayani segmen terbaik saja bisa tiga persen. Industri ini kan masih baby, jadi (NPL) perlahan pasti naik sampai menyentuh batas idealnya. Kami sendiri pun belum tahu batas idealnya di level berapa karena kita kan sama-sama belajar karena industrinya memang masih baby itu tadi,” ujar Ketua Satuan Tugas (Satgeas) P2P Lending Aftech, Reynold Wijaya, dalam kesempatan terpisah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: