Asia Pacific Rayon, Pemain Baru Viscose yang Terintegrasi dari Hulu ke Hilir
Asia Pacific Rayon (APR) yang berada dalam grup perusahaan Royal Golden Eagle (RGE), bakal menjadi pemain baru produsen serat viscose-rayon yang terintegrasi di Indonesia.
Sebagai informasi, RGE merupakan perusahaan yang berfokus di hulu, seperti mengelola hutan tanaman industri, dan juga memproduksi pulp. Sekarang, RGE melalui APR mencoba bertranformasi dengan produk yang lebih beragam dan memasuki hilir dengan viscose.
APR masuk ke industri bahan baku serat viscose-rayon sejalan dengan tren permintaan yang terus berkembang. Ditambah, saat ini Indonesia terbilang tinggi akan ketergantungan pada impor bahan baku tekstil.
Vice President, Communication and Sustainability APR, Cherie Tan mengatakan, berdasarkan data yang diperolehnya, pada 2020 tren permintaan kebutuhan bahan baku viscose bakal mencapai 8 juta ton per tahun, atau mewakili 7% dari total kebutuhan tekstil global yang mencapai 113,1 juta ton.
Baca Juga: Produsen Serat Viscose Terintegrasi Pertama Asia Tampil di Pameran Industri Tekstil
"Ini adalah hal yang bisa kami tawarkan. Saat ini, Indonesia tengah menghadapi isu ketergantungan impor bahan baku tekstil. Sebelumnya, kami fokus di hulu, seperti mengelola hutan tanaman industri, lalu memproduksi pulp. Sekarang, kami mencoba bertranformasi dengan produk yang lebih beragam, masuk ke hilir dengan viscose," jelas Cherie Tan saat ditemui Warta Ekonomi belum lama ini.
Cherie melanjutkan, di samping optimisme APR untuk menunjukan eksistensinya sebagai pelaku industri, pihaknya juga mengutamakan aspek keberlanjutan dan menerapkan kontrol kualitas terbaik dalam proses produksi.
Pasokan bahan APR berasal dari hutan tanaman industri yang dikelola secara berkelanjutan, di mana dissolving pulp yang dikonsumsi dapat dilacak secara keseluruhan dan memiliki sertifikasi internasional. Tentunya, hal tersebut sesuai dengan kepentingan untuk berproduksi secara berkelanjutan bagi pengembangan industri.
Terkait tren keberlanjutan untuk viscose, Cherie mengatakan, harus berfokus pada tiga hal. Pertama, bagaimana pengadaan pulp, yaitu dengan memastikan pulp tersebut dikelola dengan cara keberlanjutan seperti tidak berkontribusi pada deforestasi dan mendukung standar sistem sertifikasi hutan seperti PEFC.
Diketahui, bahan baku viscose berasal dari hutan, sedangkan topik pengelolaan kayu kerap menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Baca Juga: Airlangga: Produksi Serat Viscose-Rayon Dorong Ekspor, Kurangi Ketergantungan Impor
"Bahan baku yang kami gunakan untuk produksi telah tersertifikasi 100% dari internasional. Selain itu, sumber bahan baku APR sebagian besar dipenuhi dari April (pengembang perkebunan serat dan pemilik salah satu pabrik pulp dan kertas). April memiliki sertifikasi internasional PEFC serta menegaskan pengelolaan produksinya dilakukan dengan cara lestari, tidak ada deforestasi, dan tidak ada ekspansi lahan," tambahnya.
Kemudian, yang kedua, lanjut Cherie, proses manufaktur viscose yang bersih agar memastikan APR meningkatkan pemulihan bahan kimia dan menurunkan emisi perusahaannya. Yang terakhir, turut memberdayakan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat di sekitar wilayah operasi.
"APR baru memulai produksi pada 2019. Ya, di seluruh grup, keberlanjutan selalu menjadi hal yang mendasar. Keberlanjutan adalah inti dari bisnis untuk memastikan bisnis yang juga ramah lingkungan dan bertanggung jawab secara sosial," tandasnya.
"Secara alami, viscose itu sendiri kompetitif dalam segi harga dan memiliki permintaan yang cukup kuat. Apa yang dilakukan APR, memastikan (harga) ikut kompetitif, dengan mengelola cost production pada bahan baku dan produksi," pungkas Cherie.
Baca Juga: Produk Viscose-Rayon Milik APR Dipajang di Indo Intertex 2019
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: