Harapan publik agar pemberitaan pasca Pemilihan Umum (Pemilu) serentak dapat segera cooling down dari hiruk-pikuk kontestasi calon presiden rupanya harus kembali tertunda. Pasalnya, gelaran pemilihan presiden, anggota legislatif, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu masih menyisakan perdebatan saling klaim kemenangan antara Calon Presiden Kubu 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amien, dan Kubu 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Validitas dan akurasi data sistem hitung cepat (quick count) hasil lembaga-lembaga survei yang memenangkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amien dipertanyakan oleh tim sukses kubu 02 yang mengklaim memiliki data internal di mana Prabowo Subianto-Sandiaga Uno disebut memenangi Pilpres kali ini.
Baca Juga: Andai Pilpres Kemarin Menggunakan Blockchain…
Berkaca pada penyelenggaraan pemilu di negara-negara lain, pendekatan teknologi terbaru sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk dapat meminimalisasi kisruh perdebatan soal keamanan dan akurasi data yang ada. Seperti yang dilakukan di berbagai wilayah di Amerika Serikat (AS).
Wacana ini sebelumnya telah banyak dibahas di Warta Ekonomi pada 10 Maret 2019 lalu. Pemerintah setempat di Kota Denver, Negara Bagian Colorado, AS, misalnya, baru saja mempercayakan penyelenggaraan Pemilu di daerahnya pada Voatz, startup-startup asal Massachussetts, Amerika Serikat (AS), yang secara spesifik mengkhususkan bisnisnya pada layanan teknis pemanfaatan blockchain untuk pemilu.
Gelaran Pemilu itu akan dilaksanakan pada Mei 2019 mendatang, di mana aplikasi Voatz digunakan untuk mempermudah para warga Denver yang tengah berada di luar negeri agar tetap berpartisipasi. Sebelum dipercaya oleh pemerintah Denver, Voatz dalam empat tahun terakhir juga telah terlibat dalam sedikitnya lebih dari 30 ajang Pemilu di berbagai wilayah AS dengan hasil memuaskan.
Baca Juga: Australia Luncurkan Strategi dan Roadmap Nasional untuk Blockchain
Dengan mencoba meng-capture apa yang dilakukan di Denver tersebut, teknologi blockchain secara prinsip dapat diterapkan juga pada penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
“Bisa saja (blockchain dipakai pada Pemilu di Indonesia). Prinsipnya kan blockchain adalah teknologi terbaru yang memungkinkan penyimpanan data yang sama dalam banyak server sekaligus. Dengan begitu antar server itu bisa saling memverifikasi ketika satu atau beberapa diantaranya diretas. Jadi lebih aman,” ujar Ketua ABI, Oscar Darmawan, dalam kesempatan terpisah.
Namun demikian, untuk sampai tahap itu, Oscar menegaskan bahwa butuh persiapan dan penyesuaian yang tentunya membutuhkan waktu lama. Dalam arti lain, penerapannya tidak bisa dilakukan secara instan.
“Justru bagus (menggunakan sistem blockchain). Tapi ya untuk ke sana masih jauh lah. Bahkan untuk electronic voting saja kita belum familiar, sehingga untuk langsung masuk ke blockchain masih belum (siap) lah,” tegas Oscar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Kumairoh
Tag Terkait: