Dalam sejarah peradaban manusia, rasanya tidak ada capaian ilmu pengetahuan yang memiliki dampak demokratisasi dan deliberasi sedahsyat teknologi digital. Dengan smartphone dalam genggaman, setiap orang menjadi subjek pada dirinya sendiri, setiap orang adalah politisi untuk dirinya sendiri, everybody is a journalist.
Dengan googling, hampir semua informasi dapat kita peroleh dengan begitu mudahnya. Begitu dan lebar "jendela dunia" itu menghantarkan kita pada semesta ide dan pikiran.
Namun munculnya epidemi hoaks berikut rupa-rupa kedurjanaan yang menyertainya dewasa ini di mana-mana, semestinya segera tersadarlah kita bahwa digitalisasi membawa sejumlah konsekuensi. Digitalisasi adalah sebuah determinisme teknologi yang tentu saja tidak bias nilai dan kepentingan.
Baca Juga: Astroscreen Tawarkan Platform Antisipasi Medsos Penyebar Hoax
Tanpa bermaksud mengabaikan kebaikan-kebaikan yang dibawanya, demokrasi digital adalah sebuah paradoks. Batas antara membebaskan dan membelenggu begitu sumir. Batas antara mencerdaskan dan membodohkan begitu beririsan. Paradoks itu bisa dijelaskan melalui sejumlah negativitas media sosial berikut ini:
1. Medsos tanpa disadari lebih operasional sebagai sarana untuk self-esteem. Awalnya dijanjikan Mark Zuckerberg bahwa Facebook adalah sarana berbagi dan berdialog. Sarana memperluas jaringan nyaris tak berbatas.
Namun kenyataannya, banyak pengguna Facebook lebih konsen untuk memburu like, jempol, atau komentar afirmatif, dan segera merasa tidak nyaman jika ada komentar kritis atas ujaran statusnya. Medsos lebih mengemuka sebagai sarana pemujaan diri alih-alih sarana mengapresiasi orang lain.
Self-esteem memiliki bentuk lain berupa self-branding yang seringkali genit, kenes. Tanpa banyak disadari, pengguna medsos lebih sering memburu pujian orang lain daripada memuji orang lain.
2. Medsos menjadi wahana epidemi irasionalitas. Tom Nichols menyebutnya sebagai the death of expertise yakni hilangnya penghargaan terhadap standar-standar ilmiah dan akademik. Karena semua jawaban secara spekulatif disediakan oleh Google maka orang merasa tak perlu lagi membaca dan meneliti secara serius. Tak perlu lagi memanfaatkan jasa dokter, pengacara, ahli gizi, ahli statistik dst.
Lebih absurd lagi, semua orang bisa berlagak sebagai expert, ahli, dan pakar melalui akun medsos masing-masing. Dengan pengetahuan sedikit tentang politik, sudah berujar layaknya pakar politik jempolan. Dengan pengetahuan tipis tentang diet, sudah berujar layaknya ahli diet bersertifikat. Jempol dan like dari peer group membuat gejala ini semakin meluas. Maka tak ada lagi batas antara keawaman dan kepakaran. Inikah demokrasi yang kita kehendaki?
3. Medsos menghapus kemampuan yang spesifik dari spesies manusia yang tak ada pada spesies nonmanusia: kemampuan berkomunikasi intrapersonal. Berkomunikasi dengan diri sendiri, dengan hati nurani, menimbang baik-buruk dan perasaan lawan bicara, sebelum benar-benar berkomunikasi yang eksternal dengan orang lain. Kemampuan berpikir sebelum bertindak, think before you click.
Kenapa demikian? Karena medsos cenderung mendorong penggunanya berperilaku dan berujar serba spontan, instan, ekspresif, instingtual, emosional. Jangan kedahuluan orang lain, segeralah membikin status dan komentar. Dalam hal ini, kita sering terlambat menyadari bahwa ujaran kita di medsos kurang pantas untuk dikonsumsi banyak orang. Ketika yang instingtual lebih dominan dari yang rasional, perlukah kita merenungkan kembali status kita sebagai manusia?
4. Algoritma yang berputar di balik platform medsos mendorong kita untuk melakukan grouping berdasarkan kesamaan minat, profesi, latar belakang, pilihan politik, agama, hobi, dan seterusnya. Ini yang disebut sebagai filter bulble effect atau echo chamber effect.
Yang kanan akan grouping ke kanan, yang kiri akan grouping ke kiri. Mereka berasyik-masyuk dalam ruang gema masing-masing. Tak ada dialog, tak ada tukar pendapat yang bermakna. Dalam ruang gema itu, mereka memuja-muja diri sendiri, menyumpahserapahi pihak lawan. Inikah demokrasi yang kita kehendaki? Bisakah demokrasi berjalan tanpa keterbukaan terhadap the other, liyan, mereka?
5. Medsos dalam hubungannya dengan isu politik juga menciptakan atau menguatkan fenomena the spiral of silence. Yang minoritas, karena minornya, teriak sekencang-kencangnya biar dianggap mayoritas, biar dianggap dominan.
Yang mayoritas menarik diri dari perbincangan karena memang tidak suka ribut, tidak nyaman dengan kegaduhan. Maka yang berkembang adalah tumbuhnya spiral kebungkaman. Hal ini juga tidak produktif bagi demokratisasi karena ada sekelompok orang yang tidak merasa nyaman mengekspresikan diri dan pilihan politiknya. Sementara di sisi sebaliknya ada sekelompok orang lain yang terlalu bebas mengekspresikan dirinya.
6. Medsos menghibridasi yang privat dan yang publik. Kita mudah sekali berbicara lepas, ekspresif, dan menusuk perasaan orang lain karena kita berpikir medsos itu sarana komunikasi antar-orang atau dalam kelompok kecil. Padahal, apa yang kita ujarkan di akun medsos kita, bisa menyebar ke mana-mana. Apa yang kita tulis di WA Grup, bisa viral ke mana-mana tak terkontrol.
Paradoks demokrasi digital inilah nampaknya permasalahan kita hari ini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: