Usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan fintech peer to peer (P2P) lending sama-sama diuntungkan. UMKM mendapatkan akses pembiayaan yang tidak bisa diperoleh dari perbankan, sedangkan fintech dapat memeroleh imbal dari pembiayaan yang dilakukan. Adanya pandangan bernada negatif terhadap tingkat suku bunga pinjaman fintech yang dinilai tinggi merupakan satu hal yang harus selalu dicarikan jalan keluarnya.
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nurhaida memaparkan, sebanyak 70% UMKM masih belum memiliki akses pembiayaan di Indonesia. Hanya 30% dari jumlah UMKM di Indonesia yang sudah bisa akses keuangan, baik melalui bank dan nonbank. Pembiayaan menjadi salah satu faktor penting bagi UMKM karena bagian dari darah pengembangan bisnis atau naik kelas ke level yang lebih tinggi.
Bank atau nonbank tidak bisa membiayai karena beberapa hal. Letak UMKM yang di pelosok Tanah Air tidak memungkinkan dijangkau oleh bank dan nonbank. Bila pun akan digarap akan sangat memakan biaya yang besar. Problem UMKM yang tidak memiliki administrasi pendirian usaha, laporan keuangan, dan lain-lain menjadi faktor pengganjal untuk melenggangkantongi pinjaman. Dan satu lagi, faktor agunan menjadi paling banyak dihadapi oleh UMKM. Banyak UMKM yang tidak memiliki agunan sebagaimana yang lazim diprasyaratkan bank dalam pengajuan pinjaman.
Baca Juga: Fintech vs Kripto, Regulasi Pemerintah dalam Menumbuhkan Industri Digital
Celah inilah yang menjadi alasan kuat fintech masuk memberikan pembiayaan. "Inilah yang dilihat oleh fintech. Dengan menggunakan teknologi, mereka bisa menjangkau sampai pelosok," kata Nurhaida, Senin malam (20/5/2019), di Jakarta.
Fintech P2P lending memberikan kemudahan dalam memeroleh pinjaman. Seperti tanpa agunan, tapi dapat mengantongi pinjaman dalam jumlah tertentu dan jangka waktu tertentu. Ini pula yang menjadi alasan utama UMKM meminjam ke fintech tersebut karena tidak perlu agunan.
"Ini berdasarkan survei kami, inilah menjadi dasar pemilihan bagi UMKM untuk memilih peer to peer lending untuk melakukan pinjaman," kata Wakil Ketua DK OJK.
Selain memberikan pinjaman, ada pula fintech yang memberikan pendampingan kepada UMKM. Ada pula fintech P2P lending yang hanya memberikan pinjaman tanpa ada servis lainnya. Adapun pendampingan yang dilakukan, antara lain pembuatan laporan keuangan, pemasaran, dan perolehan izin.
Fakta di lapangan memang banyak keluhan bunga yang disandingkan pada pinjaman tinggi. Memang tidak ada yang dapat mengatur bunga, sekalipun OJK. Menurut Nurhaida, di negara manapun bunga tidak bisa diatur. Regulator hanya bisa mengarahkan agar bunga pada taraf wajar dan memastikan jaminan perlindungan kepada masyarakat atau nasabah. Tentunya mereka berhitung dengan risiko yang tinggi, tanpa agunan, maka diimbangi dengan bunga pinjaman yang tinggi atau sebanding dengan risikonya.
Baca Juga: Pelaku Fintech Urun Dana Harap OJK Tak Batasi Investor per Proyek
Nurhaida juga mengatakan, alangkah lebih baiknya UMKM terbuka apa adanya kepada fintech P2P lending. Hal ini memungkinkan mendapat bunga yang lebih murah bila usahanya memang baik atau prospektif. UMKM harus menunjukkan risiko pinjaman bisa mengempis dengan menunjukkan potensi-potensi yang dimiliki, baik dari kekuatan finansial, manajemen, pemasaran maupun produk.
Oleh karena itu, harus terus dicarikan upaya yang melibatkan perusahaan, asosiasi, UMKM, dan otoritas agar bunga tidak menjadi momok yang mengerikan. Formulasi bunga harus terus dikocok.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Arif Hatta
Editor: Rosmayanti