Komisi II DPRD Provinsi Jawa Barat terus mendorong Pemerintah Daerah Provinsi (Pemdaprov) Jawa Barat meningkatkan ketahanan pangan dari sektor perikanan. Saat ini, pemerintah mengembangkan budidaya ikan nila dengan teknologi sistem bioflok. Teknologi tersebut telah sukses diterapkan untuk budidaya ikan lele yang dimassalkan di berbagai pesantren di Indonesia.
Anggota Komisi II DPRD Provinsi Jawa Barat Ridho Budiman Utama mengatakan pihaknya terus mendorong upaya Cabang Dinas Kelautan Dan Perikanan Wilayah Utara, Wanayasa Kabupaten Purwakarta dan wilayah lainnya untuk mengembangkan teknoligi Bioflok tersebut.
Pasalnya, teknologi tersebut berpotensi untuk meningkatkan produksi atau hasil pembenihan ikan hingga volume produksui ikan nila khususnya sangat besar dengan biaya perawatan yang dapat diminimalisasi.
“Tentu akan kita dorong penggunaan budidaya ikan dengan bioflok ini meskipun saat ini masih dalam tahapan ujicoba,” kata Ridho kepada wartawan di Bandung, Rabu (3/7/2019).
Baca Juga: Mantap Nih, Menteri Susi Mau Perbaiki Kualitas PNS Kementerian Perikanan
Teknik bioflok dinilai memiliki banyak keuntungan yang diantaranya tidak memerlukan luas lahan yang besar dan biaya produksi yang minim. Sehingga tidak seperti kolam pembenihan konvensional yang harus menyediakan lahan yang cukup luas.
“Seperti bioflok percobaan ini selama input dan outputnya seimbang kenapa tidak kita dukung sepenuhnya. Bahkan untuk pengembangannya tidak perlu membutuhkan air yang melimpah, tetapi mencukupi untuk menghasilkan bioflok itu sendiri,” ujarnya.
Adapun, Teknisi Perikanan Cabdin KPWU Wanayasa, Kabupaten Purwakarta Arif menjelaskan, ikan nila dipilih untuk sebagai komoditas lanjutan sistem bioflok, karena nila termasuk kelompok herbivora. Sehingga proses pembesarannya lebih cepat. Selain itu, ikan nila juga mampu mencerna flok yang tersusun atas berbagai mikroorganisme, yaitu bakteri, algae, zooplankton, fitoplankton, dan bahan organik sebagai bagian sumber pakannya. Itu menguntungkan dalam budidaya di kolam.
Budidaya ikan nila sistem bioflok memiliki sejumlah keunggulan, seperti meningkatkan kelangsungan hidup (survival rate/SR) hingga lebih dari 90 persen dan tanpa pergantian air. Air bekas budidaya juga tidak berbau, sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitar dan dapat disinergikan dengan budidaya tanaman misalnya sayur-sayuran dan buah-buahan.
“Hal ini dikarenakan adanya mikroorganisme yang mampu mengurai limbah budidaya menjadi pupuk yang menyuburkan tanaman,” jelasnya.
Keunggulan lainnya yakni Feed Conversion Ratio (FCR) atau perbandingan antara berat pakan dengan berat total (biomass) ikan dalam satu siklus periode budidaya mencapai 1,03. Artinya 1,03 kg pakan menghasilkan 1 kilogram ikan Nila.
Baca Juga: Dongkrak Ekspor Perikanan, KKP Ikut Serta dalam SEG 2019
“(Itu lebih efisien) jika dibandingkan dengan pemeliharaan di kolam biasa FCR-nya mencapai angka 1,5,” imbuhnya.
Masih ada empat keunggulan lainnya, yaitu padat tebar ikan mencapai volume 100-150 ekor/m3 atau 10-15 kali lipat dibanding dengan pemeliharaan di kolam biasa yang hanya 10 ekor/m3. Sistem bioflok juga mampu meningkatkan produktivitas hingga 25-30 kg/m3 atau 12-15 kali lipat jika dibandingkan dengan di kolam biasa yaitu sebanyak 2 kg/m3. Keempat, waktu pemeliharaan lebih singkat, dengan benih awal yang ditebar berukuran 8-10 cm, selama 3 bulan pemeliharaan.
“Benih tersebut mampu tumbuh hingga ukuran 250-300 gram per ekor, sedangkan untuk mencapai ukuran yang sama di kolam biasa membutuhkan waktu 4-6 bulan,” tambahnya.
Arif menyebutkan, ikan nila sistem bioflok lebih gemuk karena hasil pencernaan makanan yang optimal. Dan komposisi daging atau karkasnya lebih banyak, serta kandungan air dalam dagingnya lebih sedikit. Secara bisnis, budidaya ikan nila juga sangat menguntungkan karena harganya cukup baik dan stabil di pasaran yaitu Rp22 ribu/kg.
Dalam pemeliharaan ikan Nila sistem bioflok, yang perlu dijaga adalah kandungan oksigen yang larut di dalam air karena disamping diperlukan ikan untuk pertumbuhan juga diperlukan oleh bakteri untuk menguraikan kotoran atau sisa metabolisme di dalam air. Pada ikan nila, kadar oksigen terlarut (DO) di dalam media sebaiknya dipertahankan minimal 3 mg/L.
“Saya mengingatkan agar teknologi bioflok di masyarakat bisa dikawal oleh UPT-UPT (unit pelaksana teknis) dan para penyuluh agar tidak keliru menerapkannya, juga harus diterapkan secara benar sesuai kaidah-kaidah cara budidaya ikan yang baik seperti benihnya harus unggul, pakannya harus sesuai standar SNI, parameter kualitas air seperti oksigen juga harus tercukupi,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: