AS-China Belum Mau Baikan, Perang Dagang Bakal Terus Berlanjut
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China diperkirakan masih akan berlanjut. Pasalnya belum ada kesepakatan yang berdampak positif bagi kedua negara dan perekonomian global.
Pertemuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 ke-14 lalu hanya meredakan situasi perang dagang untuk jangka pendek.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan, perundingan antara kedua presiden pada KTT G-20 akhir Juni lalu sebenarnya memberikan secercah harapan.
Perundingan ini tidak menghasilkan pengenaan tarif tambahan. Namun, tarif yang saat ini sudah dikenakan kedua negara tidak dicabut. Kedua presiden juga mengemukakan ada upaya untuk me-reset kembali negosiasi perdagangan di antara kedua negara adidaya tersebut.
Namun, ucapan Donald Trump di suatu kesempatan kembali menimbulkan pergolakan di dalam negerinya. Pernyataannya bahwa Huawei dapat kembali membeli produk-produk AS dalam waktu dekat disikapi negatif dan disebut tergesa-gesa mencabut kebijakan yang semula diindikasikan untuk menjaga keamanan domestik AS, serta menimbulkan pertanyaan atas kelanjutan negosiasi perdagangan.
Baca Juga: AS vs China: Habis Perang Dagang, Terbitlah Perang Mata Uang
"Saya memperkirakan dinamika perdagangan global masih terus berlanjut. Oleh sebab itu, pemerintah perlu terus berhati-hati menyiasati perang dagang. Kemungkinan perubahan keputusan yang begitu cepat mengindikasikan ada kemungkinan perubahan atas kebijakan lainnya seperti saat di KTT G-20 lalu," ungkap Pingkan.
KTT G-20 yang berlangsung di Osaka, Jepang pada 28-29 Juni 2019 lalu kembali mempertemukan pemimpin negara-negara anggota G-20, termasuk AS dan China, yang sejak setahun belakangan gencar mengenakan tarif impor satu sama lain. Pertemuan ini diharapkan mampu meredam tensi perang dagang yang sempat memanas di pertengahan kuartal kedua tahun ini.
Beberapa minggu sebelum KTT G-20 berlangsung, China melakukan retaliasi tarif dengan besaran antara 20-25% untuk produk-produk AS. Besaran tarif ini meningkat dari yang semula berkisar 5-10% dengan total nilai mencapai US$60 miliar. Hal ini dilakukan China setelah pada Mei 2019, AS meningkatkan tarif impor menjadi 25% terhadap produk-produk China yang mencapai nilai US$200 miliar.
Perang dagang antara kedua negara besar ini berawal dari langkah Pemerintah AS yang ingin memperkecil selisih neraca perdagangannya dengan China. Pada awal 2018, Donald Trump menginstruksikan pengenaan tarif impor oleh AS untuk produk panel surya.
Kebijakan ini berimbas pada perdagangan antara AS dan China yang notabene merupakan produsen terbesar panel surya di dunia. Memasuki Maret dan April 2018, presiden yang juga pengusaha properti ini kembali bermanuver dengan menerapkan tarif impor untuk produk baja sebesar 25% dan alumunium sebesar 10% untuk memangkas defisit neraca dagang AS dengan China.
Baca Juga: Trump dan Xi Jinping Sepakat Kendurkan Ketegangan Perang Dagang
Kebijakan ini memicu retaliasi dari Pemerintah China dengan mengenakan tarif impor bagi 128 produk pertanian AS yang setara dengan US$50 miliar. Hal tersebut pun direspons cepat oleh Washington dengan memberlakukan larangan penjualan produk manufaktur telekomunikasi kepada perusahaan ZTE selama tujuh tahun. Baru pada Mei 2018 Washington dan Beijing melakukan negosiasi. Namun, hal tersebut tidak berdampak signifikan.
Dua bulan setelah perundingan tersebut, China mengenakan tarif impor pada 545 produk AS setara US$34 miliar. Sebagai respons, AS mengenakan bea impor sebesar 25%.
Perang tarif ini terus berlangsung hingga Oktober 2018. Baru pada Desember 2018, bertepatan dengan KTT G-20 di Argentina tensi perang dagang ini menurun. Hanya saja, lima bulan berselang, Donald Trump kembali mengeluarkan kebijakan yang mengguncang perekonomian dunia dan menyeret industri telekomunikasi China, Huawei.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: