Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengimbau warga DKI Jakarta untuk bijak menggunakan air sebagai langkah antisipasi kekeringan menyusul musim kemarau yang akan berlangsung hingga September 2019.
Baca Juga: Akhir Pekan, Ibu Kota Bakal Diguyur Hujan
"Antisipasi kekeringan yang dapat dilakukan oleh masyarakat bijak dalam penggunaan air bersih, lebih hemat dan cermat," kata Kepala Staf Sub Bidang Analisis Informasi Iklim BMKG Pusat, Adi Ripaldi dikutip dari Antara di Jakarta, Kamis.
Menurut Ripaldi, kemarau di wilayah DKI Jakarta telah dimulai dari bulan Mei dan akan memasuki puncaknya pada bulan September hingga Oktober.
Hasil monitoring Hari tanpa hujan (HTH) wilayah DKI Jakarta sebagian besar wilayah mengalami HTH kriteria panjang yakni 21 sampai 30 hari.
Baru dua wilayah yang termonitor berstatus siaga karena HTH sangat panjang yakni 31 sampai 60 hari tidak ada hujan yakni Rawa Badak dan Rorotan.
Monitoring HTH dilakukan untuk mengetahui wilayah mana saja yang tidak mengalami hujan terhitung sejak April.
"Jika 21 sampai 30 hari tidak ada hujan, artinya dari sisi suplai air (curah hujan) sudah sangat berkurang, kalau dampak lanjutannya bisa bermacam-macam, tergantung permasalahannya," kata Ripaldi.
Menurut Ripaldi, jika warga menggunakan air sumur, dengan periode ini maka sumur tersebut terancam kekeringan, mengingat sudah sebulan tidak turun hujan.
Hujan lokal yang diprediksi terjadi di beberapa wilayah hari ini, juga tidak turun secara signifikan, sehingga belum terhitung hujan.
Ripaldi mengatakan periode kemarau di DKI Jakarta belum selesai sehingga masyarakat diimbau waspada. Kemaru ini belum terlalu berdampak karena wilayah Jakarta bukan sentra pertanian, sebagian besar warga Jakarta menggunakan air PDAM. Tetapi kemarau juga bisa mempengaruhi pasokan air baku perusahaan air minum yang sebagian besar sumber air memanfaatkan air dari atas (hujan).
Menurut dia, perlu juga dilakukan antisipasi seperti yang dilakukan oleh Australia yang mengimbau warganya tidak boleh mencuci mobil selama musim kemarau ekstrim terjadi.
"Barang kali gerakan ini juga bisa dilakukan. Kebutuhan air yang lain cermat betul," kata Ripaldi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat