Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menyantap Tutut Sajian Kuliner Keong Air Tawar, Berani Coba?

Menyantap Tutut Sajian Kuliner Keong Air Tawar, Berani Coba? Kredit Foto: Republika
Warta Ekonomi -

Banyak orang menganggap keong atau siput air tawar (pila ampullacea) sebagai hama atau sekadar hewan tidak berguna yang hidup di sawah, sungai, dan danau. Namun, itu tidak berlaku bagi beberapa warga di Kota Bogor, Jawa Barat.

Mereka mengolah hewan itu sebagai sajian kuliner yang memiliki banyak penggemar. Selain rasanya sedap, bagi sebagian orang tutut dinilai sebagai sumber protein. Bahkan, ada yang mempercayai tutut sebagai sajian berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit liver, demam, dan penyakit kuning.

Di Jalan Sholeh Iskandar dan kawasan Cimanggu, Tanah Sareal, Bogor, beberapa gerobak penjual tutut menjadi rujukan para penggemar kuliner tersebut. Salah satunya, adalah warung kaki lima tutut milik Husni Fadillah yang berada di Jalan Taman Cimanggu.

Setiap hari di warungnya Husni melayani pelanggan yang tidak hanya berasal dari Bogor, tetapi dari kota lain seperti Depok dan Jakarta. "Banyak yang ke sini sekadar mengobati rasa kangen mereka untuk merasakan sajian tutut ini," kata Husni yang memasak tutut dengan satu varian rasa yakni bumbu kuning.

Satu porsi tutut dijual dengan harga Rp 5 ribu. Bumbu-bumbunya adalah bawang putih, bawang merah, kemiri, kunyit, jahe, merica, dan garam yang dihaluskan.

Cara makannya pun unik, kita harus menyesap atau menghisap isi tutut dari cangkangnya. "Slurrppppp...," begitu suara yang terdengar saat pelanggan Husni menyesap isi tutut dari cangkangnya.

Jika Anda kesulitan menyesap, ada alat bantu berupa tusuk gigi disediakan Husni agar pelanggannya bisa meraih isi tutut. Ketika tutut habis, kuah berbumbu kuning juga sayang rasanya jika tidak dihabiskan karena rasanya begitu sedap.

Husni Fadilah mengatakan bahwa setiap hari rata-rata dia menjual sebanyak enam kilogram tutut. "Bahkan di akhir pekan jumlahnya bisa mencapai sekitar delapan kilogram," kata pria yang merupakan generasi kedua penjual tutut ini.

Meski setiap hari dagangannya laris, bukan berarti dirinya tidak pernah mengalami hambatan. "Pertengahan tahun lalu ada kasus puluhan warga Tanah Baru, Bogor, mengalami keracunan setelah makan tutut," kata dia.

Setelah kejadian itu, Husni mengaku dagangannya ikut terdampak kasus tersebut. "Penjualan turun drastis karena banyak pelanggan yang khawatir tutut masakan saya juga berbahaya," kata dia.

Namun, lambat laun penjualan tututnya kembali membaik dan bahkan semakin meningkat. "Itu karena saya memilih tutut atau keong bahan sajian dari yang berasal dari alam, seperti danau dan sungai. Bukan dari sawah," kata Husni.

Menurut dia, tutut yang berasal dari sawah lebih berisiko karena tercemar pestisida. Kepercayaan pelanggannya yang loyal, menurut dia, menjadi kunci usaha kuliner tutut Husni masih bisa bertahan hingga saat ini.

Untuk memastikan sajian tutut yang aman, dia mengimbau calon pembeli untuk mengecek baunya. "Jika baunya menusuk atau ada amis dan rasanya pahit, sebaiknya jangan dikonsumsi," kata Husni.

Salah seorang pemasok tutut, Suryadi, mengatakan bahwa tutut yang aman dikonsumsi adalah tutut yang hidup di sungai dan danau yang belum tercemar limbah. "Saya mendapatkan tutut ini di sejumlah setu (danau) di Bogor," kata dia.

Menurut Suryadi, beberapa pemasok juga mendapatkan tutut mentah yang berharga Rp 7 ribu per kilogram itu dari hasil budidaya. "Itu juga aman dikonsumsi karena dihindarkan dari pestisida dan zat kimia berbahaya," kata pria yang memasok tutut di wilayah Bogor dan Depok itu.

Pada musim kemarau ini, kata dia, tutut relatif lebih susah didapatkan. "Musim hujan adalah masa di mana pasokan tutut melimpah," kata Suryadi.

Salah seorang penyuka kuliner tutut, Eni Roheni, mengatakan selain enak tutut mengingatkan dirinya pada masa kecil yang sering mengonsumsi tutut. "Dulu di Bogor banyak banget yang jual, sekarang lebih susah ditemui," kata wanita paruh baya itu.

Apalagi, lanjutnya, sekarang banyak tutut yang berasal dari sawah berpestisida maupun habitat yang tercemar lainnya."Harus berhati-hati agar tidak salah pilih tutut dengan mencium baunya yang tidak menyengat dan tidak berasa pahit," kata Eni.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: